BUDAYA – Songkok Recca bukan hanya simbol budaya, tetapi juga alat komunikasi sosial yang mencerminkan strata dan nilai dalam masyarakat Bugis-Makassar. Setiap tingkatannya memiliki arti dan fungsi tersendiri, yang tetap relevan hingga kini.
Suku Bugis dan Makassar, kaya akan warisan budaya yang terjaga turun-temurun. Salah satu warisan budaya yang masih digunakan hingga kini adalah Songkok Recca, yakni penutup kepala tradisional pria Bugis-Makassar yang memiliki makna mendalam.
Bukan sekadar aksesori, Songkok Recca mencerminkan identitas, status sosial, dan nilai adat yang dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Songkok Recca terbuat dari anyaman daun lontar (daun lontara), yang diproses secara khusus hingga menjadi topi berwarna hitam keemasan atau kecokelatan dengan pola khas. Istimewanya, Songkok Recca memiliki tingkatan atau strata yang menandakan kedudukan sosial pemakainya dalam masyarakat.
Asal Usul dan Makna Songkok Recca
Nama Recca sendiri berasal dari kata dalam bahasa Bugis yang berarti “cerdas”, “arif”, atau “bijaksana”. Songkok ini awalnya digunakan oleh para bangsawan, pemuka adat, dan orang-orang yang dianggap memiliki pengetahuan serta kearifan tinggi dalam masyarakat.
Di masa lalu, pembuatan Songkok Recca sangat eksklusif dan hanya bisa dilakukan oleh perajin tertentu yang memahami seluk-beluk teknik anyaman dan filosofi di balik motifnya. Selain sebagai penutup kepala, Songkok Recca menjadi simbol kehormatan, kedewasaan, dan martabat.
Strata atau Tingkatan Songkok Recca
Tingkatan Songkok Recca tidak hanya dilihat dari motif atau bentuk fisiknya, tetapi juga dari nilai simbolik dan siapa yang berhak mengenakannya. Umumnya terdapat tiga hingga lima tingkatan utama yang dikenal dalam tradisi Bugis-Makassar, yaitu:
1. Recca To-Cappa (Songkok Recca Rakyat Biasa)
Ciri-ciri: Pola anyaman sederhana, warna dominan hitam atau coklat tua tanpa ornamen emas atau motif rumit.
Pengguna Recca To-Cappa biasanya digunakan pada Masyarakat biasa atau kalangan umum, yang bermakna melambangkan kedewasaan dan kesopanan. Biasanya dipakai oleh pria dewasa dalam acara-acara adat, pernikahan, atau upacara keagamaan.
2. Recca To-Palayya (Songkok Recca Terhormat)
Ciri-ciri: Pola anyaman lebih kompleks, disertai garis-garis emas halus atau ornamen sederhana.
Biasanya digunakan oleh Tokoh masyarakat, kepala kampung, atau orang yang dituakan.
Hal ini bermakna mewakili orang yang telah berjasa atau dihormati karena kebijaksanaan dan kontribusinya dalam masyarakat.
3. Recca Panrita (Songkok Recca untuk Kaum Cerdik Cendekia)
Ciri-ciri: Anyaman rapat dan simetris, kadang disematkan simbol tertentu seperti motif lontara atau aksara.
Para penggunanya biasanya para alim ulama, sarjana, atau pemimpin adat yang dihormati karena ilmunya, sebagai simbol ilmu pengetahuan, hikmah, dan kebijaksanaan spiritual.
4. Recca Puang atau Recca Arung (Songkok Recca untuk Bangsawan)
Ciri-ciri: Dibuat dari bahan terbaik, dengan pola anyaman yang sangat rumit, kadang menggunakan benang emas atau campuran serat pilihan.
Recca Puang atau Recca Arung ini khususnya digunakan untuk Kaum bangsawan, keturunan raja, atau pemimpin kerajaan lokal. Songkok recca ini memiliki makna cerminan status aristokrat, kekuasaan, dan kehormatan tinggi dalam struktur adat.
5. Recca Batara (Songkok Recca untuk Upacara Khusus atau Kerajaan)
Ciri-ciri: Sangat langka, memiliki ukiran dan detail emas yang nyata, disimpan secara turun-temurun.
Seperti disebutkan Recca Batara ini hanya digunakan dalam upacara kerajaan atau warisan pusaka kerajaan, sebagai simbol spiritualitas tinggi, kepemimpinan luhur, dan keberlanjutan tradisi.
Dengan memahami strata Songkok Recca, kita tidak hanya belajar tentang adat, tapi juga tentang bagaimana masyarakat menghormati pengetahuan, kearifan, dan warisan leluhur.
Upaya pelestarian Songkok Recca terus digalakkan oleh komunitas budaya dan perajin lokal, terutama di daerah Wajo, Bone, dan Soppeng. Songkok ini mulai kembali dikenakan dalam acara formal, festival budaya, hingga oleh generasi muda yang sadar akan identitas leluhur. (*)