BERANDANEWS – Makassar, Belakangan ini, berbagai soroton dari wakil rakyat di DPRD Makassar bermunculan kaitan isu, pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap pegawai non ASN di lingkup Pemkot Makassar.
Sayangnya, masalah utama belum diketahui publik. Dimana fenomena pegawai honor titipan atau “jalur jendela” di pemerintahan telah menjadi rahasia umum.
Termasuk pejabat OPD atau wakil rakyat. Istilah ini merujuk pada praktik penempatan tenaga honorer yang tidak melalui proses seleksi resmi, melainkan berdasarkan hubungan pribadi atau dukungan politik.
Jalur “jendela” adalah sebutan untuk proses penerimaan tenaga honorer yang tidak transparan dan tidak melalui prosedur resmi. Praktik ini sering kali melibatkan keluarga, kerabat.
Pemerintah Kota Makassar sedang gencar melakukan pendataan terhadap pegawai non ASN sesuai edaran BKN.
Tujuannya mendorong masing-masing instansi pemerintah untuk mempercepat proses maping, validasi data, dan menyiapkan Roadmap penyelesaian tenaga non ASN.
Kabar terbaru, DPRD Kota Makassar, menemukan pegawai kontrak indikasi kuat adanya pegawai fiktif di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Salah satu temuan mencolok ialah adanya nama-nama yang terdaftar resmi namun tidak pernah terlihat menjalankan tugasnya di lapangan.
Menanggapi hal ini, pemerhati pelayanan publik Subhan Djoer, mengatakan, masalah tenaga honorer fiktif di lingkungan Pemerintah Kota bukanlah persoalan baru.
Oleh sebab itu, sangat mendukung langkah Pemerintah Kota Makassar dalam melakukan pendataan dan validasi untuk mengambil tindakan tegas. Terhadap pegawai non ASN tidak resmi.
“Masalah honorer fiktif di Pemkot memang sudah lama selalu menjadi temuan, tapi selalu saja berulang,” ujar Subhan Djoer, Ahad (18/5/2025).
Temuan soal honor juga serupa telah dalam audit internal Pemkot. Namun, kini baru ada langkah tegas dan menyeluruh yang diambil untuk mengatasi akar permasalahannya.
Mantan Ketua Ombudsman RI wilayah Sulsel itu menyebutkan, sudah saatnya diambil langkah nyata dan berani dengan melakukan pemutusan hubungan mkerja (PHK) terhadap seluruh tenaga kontrak yang terbukti fiktif.
Keberadaan mereka tidak hanya membebani anggaran daerah, tetapi juga menutup kesempatan bagi tenaga kontrak yang benar-benar bekerja secara profesional dan sah.
“Untuk yang sekarang ini, Pemkot Makassar sudah harus mengambil langkah tegas untuk mem-PHK tenaga kontrak fiktif,” imbuh dia.
Ia meminta agar Pemkot mendalami siapa yang melakukan rekruitmen. Sehingga, tidak cukup hanya dengan memutus kontrak. Perlu ada sanksi tegas, termasuk sanksi pidana, bagi siapapun yang terbukti dengan sengaja memasukkan tenaga kontrak fiktif.
Perbuatan tersebut jelas merupakan bentuk penyalahgunaan kewenangan dan tergolong tindak pidana korupsi karena merugikan keuangan negara/daerah.
“Dan yang paling penting adalah memberikan sanksi tegas sampai sanksi pidana bagi pelaku yang memasukkan tenaga kontrak fiktif, karena ini sudah merugikan keuangan daerah dan masuk kategori Korupsi,” jelasnya.
Dikatakan, penegakan hukum tidak boleh tebang pilih. Siapapun yang terlibat, baik staf pelaksana, pejabat struktural, maupun oknum pimpinan yang menyalahgunakan wewenangnya, harus dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku.
“Kalau mau diberantas jangan setengah setengah atau tebang pilih, sanksi semua yang terlibat, termasuk pejabat atau oknum pejabat yang memasukkan orangnya tidak sesuai dengan aturan yang berlaku,” demikian saran Subhan Djoer.
Ditekankan, pemerintah Kota perlu membangun sistem rekruitmen dan pendataan tenaga honorer yang transparan, terintegrasi, dan dapat diaudit secara berkala.
Mekanisme pengawasan internal dan eksternal juga harus diperkuat untuk mencegah manipulasi data pegawai. Sudah waktunya dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan perekrutan tenaga kontrak.
“Apakah sesuai kebutuhan organisasi atau hanya menjadi alat bagi oknum. Evaluasi ini harus melibatkan pihak independen dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka,” tukasnya.
Sebelumnya, Anggota Komisi A DPRD Makassar, Andi Makmur Burhanuddin membongkar data terbaru, keberadaan ribuan tenaga non ASN atau yang dikenal sebagai Laskar Pelangi di lingkup Pemerintah Kota Makassar.
Hal itu terungkap saat Komisi A DPRD Kota Makassar mendesak evaluasi menyeluruh terhadap para pegawai kontrak tersebut setelah ditemukan indikasi kuat adanya pegawai fiktif di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) pekan lalu.
Andi Makmur Burhanuddin, mengungkapkan bahwa dalam setiap kunjungan kerja, pendataan ulang pegawai Laskar Pelangi menjadi prioritas utama.
Ia menilai, evaluasi ini krusial untuk menjamin efisiensi dan akuntabilitas penggunaan anggaran.
“Kami mendapati adanya pegawai yang punya SK tapi tidak pernah melapor atau bekerja. Ini bukan hanya soal disiplin, tapi sudah menyentuh ranah etika pengelolaan anggaran negara,” ujarnya.
Ia menegaskan bahwa evaluasi terhadap Laskar Pelangi harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya mengandalkan data administratif.
Sehingga, pemeriksaan langsung atau cek fisik di lapangan menjadi kunci dalam membongkar keberadaan pegawai yang disebut-sebut fiktif.
“Kalau kendaraan dinas bisa dicek keberadaannya, kenapa tidak dengan pegawai? Kami ingin lihat apakah mereka benar-benar ada, hadir, dan bekerja,” tegasnya.
Langkah konkret telah mulai diambil oleh Dinas Pendidikan Makassar, yang memerintahkan pendataan ulang pegawai Laskar Pelangi di seluruh SD dan SMP. Komisi A pun memberi dukungan penuh terhadap inisiatif tersebut.
“Pendataan ulang itu sejalan dengan semangat kami untuk menertibkan sistem. Kalau benar ada pegawai yang tak bekerja tapi tetap menerima gaji, maka itu bentuk pemborosan yang tidak bisa ditoleransi,” ucap Andi.
Ia memastikan, pemantauan tak hanya akan menyasar Dinas Pendidikan, tapi akan diperluas ke seluruh SKPD, termasuk tingkat kecamatan. Komisi A bertekad melakukan verifikasi langsung untuk mencocokkan data administratif dengan realitas di lapangan.
“Kami akan turun ke lapangan, mencocokkan satu per satu. Tidak boleh ada pegawai fiktif yang menyedot anggaran daerah secara diam-diam,” imbuhnya. (*)