Wala Suji sebagai Simbol Penjagaan dan Tingkat Kesempurnaan Bugis Makassar

Wala Suji sebagai Simbol Penjagaan dan Tingkat Kesempurnaan Bugis Makassar

Dalam perkawinan adat bugis makassar, biasanya kita menjumpai pagar bambu berbentuk gapura yang mempunya motif belahan ketupat yang letaknya berada didepan pagar rumah yang dikenal dengan nama Wala Suji.

Bentuk Wala Suji menyerupai bagian depan rumah panggung suku Bugis-Makassar. Atapnya berbentuk segitiga dan disangga rangkaian anyaman bambu. Sebagai penghias, tak lupa diberi janur kuning.

Walasuji berasal dari kata ‘wala’ yang berarti pagar atau penjaga dan ‘suji’ yang artinya putri. Menurut kepercayaan klasik Bugis-Makassar, terdapat sulappa appa (empat sisi) yang menyimbolkan susunan semesta, yakni api, air, tanah, dan angin. Konsep segi empat pada Wala Suji ini berpangkal pada kebudayaan yang memandang alam raya sebagai sulappa appa.

Menurut masyarakat Bugis-Makassar dunia sebagai sebuah kesempurnaan. Kesempurnaan yang dimaksud meliputi empat persegi penjuru mata angin, yaitu timur, barat, utara, dan selatan. Secara makro, alam semesta adalah satu kesatuan yang tertuang dalam sebuah simbol aksara Bugis-Makassar, yaitu ‘sa’ yang berarti seua, artinya tunggal atau esa. Begitu pula secara mikro, manusia adalah sebuah kesatuan yang diwujudkan dalam sulapa’ eppaki. Berawal dari mulut manusia segala sesuatu dinyatakan, bunyi ke kata, kata ke perbuatan, dan perbuatan mewujudkan jati diri manusia.

Dengan demikian, Wala Suji dalam dunia ini, dipakai sebagai acuan untuk mengukur tingkat kesempurnaan yang dimiliki seseorang. Kesempurnaan yang dimaksud itu adalah kabara-niang (keberanian), akkarungeng (kebangsawanan), asugireng (kekayaan), dan akkessi-ngeng (ketampanan/kecantikan).

Pergeseran fungsi Wala Suji yang terbuat dari anyaman bambu, dewasa ini khususnya di Sulawesi Selatan, bukan suatu hal yang langka lagi. Ini karena Wala Suji bisa dilihat meski tidak ada acara pengantinan atau pesta adat.

Fungsi dan kegunaan Wala Suji ini, awalnya sebagai pallawa atau pagar dan baruga atau pintu gerbang. Namun karena adanya aspek modernisasi yang menimbulkan pergolakan pada nilai kebudayaan daerah, akhirnya Wala Suji yang dikenal selama ini telah mengalami penyimpangan fungsi.

Hal itu terlihat pada penempatan hasil karya ini tidak sesuai fungsi dan kegunaannya lagi. Idealnya, Wala Suji hanya dipakai pada acara pernikahan atau pesta adat bagi warga Sulawesi Selatan yang masih memegang teguh adat setempat.

Namun kini, Wala Suji telah menjadi gerbang permanen bagi rumah-rumah keturunan bangsawan lokal. Bahkan pada beberapa keluarga yang pernah melakukan pesta perkawinan, membiarkan Wala Suji itu tetap berdiri kokoh dalam waktu lama. Padahal semestinya, maksimal digunakan hingga 40 hari pasca-perkawinan atau pesta adat. Keengganan merobohkan Wala Suji pasca-upacara perkawinan itu, selain merasa sayang menghancurkan bangunan mini itu karena harganya dapat mencapai Rp 500.000.

Selain itu, Wala Suji dapat difungsikan sebagai tempat bernaung dari panasnya matahari atau derasnya hujan pada musim penghujan. Sebagian orang yang memiliki Wala Suji ini, justru membuat bangku panjang dari bambu atau kayu di sisi kiri dan kanan bagian bawah Wala Suji, sebagai tempat bersantai.

Bahkan sejumlah restoran atau hotel-hotel berbintang di Makassar, juga memasang Wala Suji di lokasi prasmanan atau tempat sajian hidangan dengan alasan menambahkan estetika dekorasi ruangan, sekaligus memperkenalkan salah satu karya seni budaya masyarakat Sulawesi Selatan.(*)