OPINI – Pada masa lalu, ijazah dianggap sebagai tiket emas menuju dunia kerja. Gelar sarjana adalah simbol kesuksesan akademis sekaligus jaminan memperoleh pekerjaan bergengsi. Dan saat itu Ijazah sebagai alat pembuktian kelulusan seseorang telah mencapai jenjang pendidikan tinggi.
Namun, seiring berkembangnya zaman, terutama di era digital dan industri saat ini, paradigma itu mulai berubah.
Kini, ada banyak perusahaan yang menilai kompetensi, keterampilan, dan pengalaman kerja lebih tinggi daripada sekadar selembar ijazah.
Perubahan Paradigma Dunia Kerja
Banyak tokoh sukses dunia, seperti Steve Jobs, Bill Gates, dan Mark Zuckerberg, tidak menyelesaikan pendidikan formal mereka, tetapi mampu membangun perusahaan raksasa yang merevolusi industri global. Fenomena ini membuka mata dunia bahwa pendidikan formal bukanlah satu-satunya jalan menuju kesuksesan profesional.
Perusahaan-perusahaan modern, terutama di sektor teknologi, kreatif, dan startup, kini lebih fokus mencari individu dengan skillset yang relevan dan mentalitas growth mindset daripada hanya melihat dari latar belakang akademik. Seorang programmer yang memiliki portofolio kuat dan kontribusi di komunitas open source lebih dilirik ketimbang lulusan universitas top tanpa pengalaman nyata.
Skill Lebih Dibutuhkan Daripada Gelar
Banyak pekerjaan hari ini yang tidak lagi menuntut ijazah, tetapi kemampuan. Misalnya, seorang content creator, graphic designer, atau digital marketer bisa mendapatkan pekerjaan atau proyek dengan hanya menunjukkan hasil kerja mereka melalui portofolio online. Hal serupa terjadi di bidang IT, seperti web developer atau data analyst, di mana sertifikasi dan hasil proyek lebih dihargai daripada gelar akademik.
Menurut laporan dari LinkedIn dan World Economic Forum, keterampilan yang paling dicari oleh perusahaan saat ini mencakup pemecahan masalah, berpikir kritis, kreativitas, kemampuan beradaptasi, dan kolaborasi — hal-hal yang tidak selalu diajarkan secara eksplisit di bangku kuliah.
Revolusi Rekrutmen dan Sertifikasi Alternatif
Berkat internet, kini siapa pun bisa belajar hal baru kapan saja dan di mana saja. Platform seperti Coursera, Udemy, edX, hingga Google Career Certificates menawarkan pelatihan berkualitas dengan biaya terjangkau — bahkan gratis — dan diakui oleh banyak perusahaan besar.
Banyak HR dan recruiter kini melihat sertifikasi dari platform tersebut, serta pengalaman proyek, sebagai bukti kompetensi yang sahih. Proses rekrutmen juga mulai beralih pada pendekatan berbasis keterampilan (skills-based hiring), di mana kandidat dinilai berdasarkan tes kemampuan langsung atau tantangan pekerjaan (job simulation), bukan sekadar transkrip nilai.
Contoh Nyata di Lapangan
Perusahaan seperti Google, Apple, dan IBM telah menghapus syarat gelar sarjana untuk banyak posisi mereka. Mereka lebih mengutamakan kandidat yang bisa menunjukkan kemampuan melalui coding test, portofolio, atau pengalaman kerja. Bahkan di Indonesia, perusahaan seperti Gojek, Tokopedia, dan Ruangguru membuka peluang besar bagi talenta yang bukan lulusan universitas ternama.
Di sisi lain, banyak lulusan perguruan tinggi yang menganggur atau bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan jurusan mereka. Hal ini menandakan bahwa ijazah saja tidak cukup jika tidak diiringi keterampilan yang relevan dengan kebutuhan industri.
Ijazah, Realita dan Risiko di Baliknya
Sebagai bukti gelar akademik yang diraih dengan jerih payah, bahkan menghabiskan waktu dan pikiran serta materi, merupakan salah satu syarat penting untuk mendapatkan bukti kelulusan berupa Ijazah. Namun, ironisnya, hal ini justru membuka celah bagi oknum-oknum tak bertanggung jawab untuk memalsukan ijazah demi meraih keuntungan pribadi. Lalu, seberapa mudah sebenarnya memalsukan ijazah? Dan apa saja dampaknya?
Teknologi yang kian maju ternyata tidak hanya membawa manfaat, tetapi juga memberi ruang bagi tindak kejahatan digital. Saat ini, pemalsuan ijazah bukan lagi hal sulit. Cukup dengan perangkat komputer, akses internet, dan software desain grafis, seseorang bisa mencetak ijazah palsu yang tampak meyakinkan. Bahkan ada situs atau akun media sosial yang secara terang-terangan menawarkan jasa pembuatan ijazah dari berbagai jenjang dan institusi.
Tak hanya bentuk fisiknya, bahkan ada oknum yang memalsukan data secara digital agar terkesan “terdaftar” di database tertentu, walau ini jauh lebih rumit dan biasanya terdeteksi jika dilakukan pengecekan mendalam.
Mengapa Bisa Lolos?
Salah satu alasan ijazah palsu bisa lolos adalah karena tidak semua perusahaan atau instansi melakukan verifikasi dengan teliti. Dalam banyak kasus, selama tampilan ijazah terlihat sah dan kandidat menunjukkan kepercayaan diri, proses verifikasi akademik kadang diabaikan, terutama di sektor swasta yang tidak memiliki sistem validasi internal.
Namun, untuk institusi pemerintah atau perusahaan besar yang sudah bekerja sama dengan Kemdikbud atau memiliki sistem Human Resource yang canggih, pemalsuan biasanya cepat terdeteksi. Misalnya, melalui PD-Dikti — database nasional yang mencatat data mahasiswa dan lulusan dari seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
Risiko Hukum dan Etika
Memalsukan ijazah bukanlah pelanggaran kecil. Di Indonesia, hal ini termasuk tindak pidana. Pelakunya bisa dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 263 KUHP dengan ancaman hukuman penjara hingga 6 tahun. Tidak hanya pembuat atau penjualnya yang bisa dijerat hukum, pengguna ijazah palsu juga ikut bertanggung jawab secara hukum dan moral.
Selain itu, penggunaan ijazah palsu dapat merusak reputasi pribadi dan profesional. Jika terbongkar, seseorang bisa kehilangan pekerjaan, dicoret dari keanggotaan organisasi profesi, bahkan di-blacklist dari dunia kerja.
Solusi dan Langkah Pencegahan
Untuk mencegah peredaran ijazah palsu, perlu ada kerja sama antara lembaga pendidikan, perusahaan, dan pemerintah. Digitalisasi data lulusan dan akses publik terhadap database resmi seperti PD-Dikti adalah langkah penting. Perusahaan juga perlu menanamkan budaya background check sebagai bagian dari proses rekrutmen.
Masyarakat pun harus semakin sadar bahwa kesuksesan tidak bisa dibangun di atas kebohongan. Alih-alih memalsukan ijazah, lebih baik fokus membangun keterampilan dan pengalaman nyata yang kini jauh lebih dihargai di banyak industri.
Masih Pentingkah Ijazah saat ini?
Meskipun ijazah mulai kehilangan “daya magis”-nya, bukan berarti pendidikan formal tidak penting. Bagi banyak profesi, seperti dokter, arsitek, dan pengacara, ijazah masih merupakan syarat mutlak. Selain itu, pendidikan formal tetap memberi dasar berpikir, wawasan luas, serta jaringan sosial yang bernilai dalam jangka panjang.
Namun, yang perlu disadari adalah bahwa dunia kerja kini lebih menghargai individu yang bisa membuktikan dirinya mampu, bukan hanya yang bisa menunjukkan lembaran kertas bertuliskan gelar. Pendidikan tidak harus selalu berasal dari universitas; belajar mandiri, pelatihan online, dan pengalaman langsung juga merupakan bentuk pendidikan yang sah.
Sebagai kesimpulan, Dunia kerja kini bergerak menuju penilaian berbasis kemampuan nyata. Ijazah bisa menjadi nilai tambah, tetapi bukan lagi penentu utama. Di tengah persaingan yang semakin ketat dan dinamis, mereka yang terus belajar, beradaptasi, dan membuktikan diri melalui karya nyata akan lebih mudah bersaing dan bertahan.
Maka, daripada terlalu fokus mengejar gelar, lebih baik mulai membangun keterampilan, memperkuat portofolio, dan menjalin koneksi. Karena pada akhirnya, dunia kerja akan lebih menghargai apa yang bisa Anda lakukan, bukan hanya apa yang tertulis di ijazah Anda.(*)
Penulis
Oland Muhammad