Sinrilik, Warisan Budaya dari Makassar

Pertunjukan Seni Musik Sinrilik

Pertunjukan Sinrilik merupakan seni bertutur masyarakat suku Makassar yang diiringi alat musik tradisional yang kabarnya telah ada sejak jaman dulu.

Sinrilik merupakan sebuah kisah atau narasi tertentu yang disampaikan atau diceritakan dalam bentuk lantunan irama (dilagukan). Bentuk narasinya menyerupai puisi atau syair dengan pemilihan dan perpaduan kata-kata yang tepat dan terdapat berulangkali pengulangan-pengulangan lirik atau repetisi.

Pada umumnya sinrilik dilantunkan oleh seorang pria, bisa dengan diiringi alunan alat musik dan bisa pula tidak. Sinrilik ini terbagi dalam dua kategori yaitu sinrilik bosi timurung dan sinrilik pakesok-kesok.

Sinrilik bosi timurung yangdalam bahasa Makassar berarti hujan turun, adalah sinrilik yang dilantunkan pada saat keadaan sepi dan orang-orang sedang tertidur lelap. Sinrilik ini tidak diiringi oleh alat musik apapun, dengan narasi yang pendek-pendek dan berisi kesedihan atau curahan hati dari penggubahnya, seperti kecintaan pada seorang gadis, kerinduan pada kekasih, dan rasa kecewa akan jerih payah yang tidak sesuai dengan hasil yang diharapkan.

Sedangkan sinrilik pakesok-kesok adalah pertunjukan sinrilik yang diiringi alunan alat musik berupa kesok-kesok.

Narasi sinrilik jenis ini adalah cukup panjang dengan tema cerita yang lebih bermuatan positif dan menggugah semangat seperti kisah kehidupan seorang tokoh, sejarah perjuangan, budaya, maupun masalah agama.

Adapun penggunaan alat musik kesok-kesok ini selain menambah kemeriahan suasana juga dimaksudkan untuk menutupi kesalahan redaksi dari cerita yang dibawakan oleh passinrilik (orang yang melakukan sinrilik).

Berbeda halnya dengan sinrilik bosi timurung, sinrilik kesok-kesok ditampilkan untuk menghibur orang banyak.

Kesok-kesok atau gesong kesong dulunya dikenal juga dengan nama kerek-kerek gallang, adalah alat musik gesek tradisional yang terbuat dari tempurung kelapa, kulit kambing, serta kayu, dan hanya memiliki dua buah senar. Untuk menggeseknya biasanya digunakan alat gesek biola, namun bisa juga dengan menggunakan kawat biasa.

Penggunaan alat musik ini hampir sama dengan biola, hanya saja tidak ditaruh pada pundak pemain namun ditempatkan pada lantai pertunjukan dengan posisi berdiri. Saat dimainkan alat ini akan mengeluarkan bunyi seperti song song.

Irama kesok-kesok yang dimainkan pada pertunjukan sinrilik haruslah disesuaikan dengan tinggi rendahnya nada suara dari passinrilik serta isi narasi yang sedang ditampilkan, misalnya passinrilik sedang menceritakan sebuah kisah perjuangan melawan penjajah tentunya gesekan nadanya akan terdengar cepat dan keras sehingga dapat menggugah emosi dan imajinasi dari pendengar, sedangkan jika sedang menceritakan kisah-kisah bernuansa keagamaan, gesekan dan temponya cenderung lebih lambat. Jadi, keberadaan iringan musik kesok-kesok itu sendiri dapat kita samakan dengan irama backsound yang menjadi latar dari sebuah film. Sebuah gesekan awal yang dimainkan dijadikan sebagai penanda dimulainya cerita.

Setiap orang dapat mempelajari sinrilik, sehingga seorang passinrilik bisa saja datang dari berbagai bidang profesi seperti petani, nelayan, ataupun guru.

Pada jaman dulu, seorang passinrilik mendapatkan hak yang istimewa dalam kehidupan sosialnya, baik berupa materi (seperti pemberian sebidang sawah dari penguasa setempat), maupun yang berwujud immaterial, misalnya pengakuan dari masyarakat sebagai seorang yang ahli di bidangnya.

Dalam sebuah pertunjukan sinrilik mereka yang terlibat tidaklah dibatasi jumlahnya, namun paling sedikit adalah dua orang, dengan posisi sebagai pelantun sinrilik satu orang dan pendengar juga satu orang.

Untuk sinrilik yang berupa pertunjukan kepada khalayak ramai yang mana pendengarnya datang dari berbagai etnis yang kurang memahami arti dan penggunaan bahasa daerah setempat, maka dibutuhkan satu atau dua orang komentator yang akan memberi penjelasan mengenai cerita yang disampaikan oleh passinrilik.

Biasanya setelah melantunkan beberapa bait lirik dari cerita yang dibawakan, seorang passinrilik akan memberi jeda sejenak. Pada waktu jeda inilah komentator akan menyampaikan isi atau kandungan cerita yang dibawakan oleh passinrilik. Demikian seterusnya hingga pertunjukan tersebut selesai.

Seorang passinrilik diharapkan memahami betul narasi yang akan disampaikannya, bahkan menghapalnya di luar kepala, sehingga passinrilik sejatinya dituntut mempunyai daya ingat yang kuat dan kemampuan berimprovisasi yang baik. Dia sebaiknya pandai memainkan tinggi rendahnya suara atau intonasi nada yang dikeluarkannya, bahkan bila perlu diikuti oleh bahasa tubuh yang pas sehingga audiens atau pendengar dapat benar-benar hanyut dalam suasana dari cerita yang disajikan.

Selain itu, seorang passinrilik wajib memiliki kemampuan dalam mengontrol kata-kata yang dikeluarkannya dan menjaga agar tidak ada pihak-pihak dari pendengar yang merasa dirugikan atau dilecehkan. Memang seni sinrilik hanyalah semata-mata menuturkan sebuah kisah saja, semangat patriotik, serta hal-hal yang menyangkut kebudayaan manusia, tidak dalam kapasitas menilai atau menghakimi seorang tokoh sehingga seharusnyalah dapat terhindar dari masalah ketersinggungan suatu pihak.

Sinrilik dapat pula dikatakan sebagai sebuah seni yang dinamis dan ceritanya dapat terus dikembangkan, dan juga karena sangat bergantung pada kemampuan seorang passinrilik dalam membuat gubahan, sehingga dapat menghindari kebekuan suatu bentuk cerita.

Tak jarang seorang passinrilik tidak mengikuti teks tertulis yang baku mengenai sebuah cerita namun lebih mengedepankan gaya bahasa dan cara berceritanya sendiri.

Salah satu jenis sinrilik pakesok-kesok yang biasa dimainkan dan cukup dikenal di masyarakat Makassar adalah Sinrilik Kappalak Tallumbatua.

Sinrilik Kappalak Tallumbatua merupakan cerita berlatar sejarah perjuangan masyarakat Gowa. Sinrilik Kappalak Tallumbatuadalam bahasa Makassar berarti tiga buah kapal. Nama ini diambil dari tiga buah kapal yang ditumpangi oleh Andi Patunru yang bekerjasama dengan Belanda hendak menyerang daerah Gowa.

Keinginan Andi Patunru untuk kembali ke tanah kelahirannya dan berkuasa di sana membuatnya harus berhadapan dengan ayahnya sendiri. Terjadilah pertempuran dahsyat yang tidak bisa dihindari.

Rakyat Gowa berjuang penuh semangat demi mempertahankan tanah kedaulatan negerinya. Cerita inilah yang kemudian dituangkan dalam Sinrilik Kappalak Tallumbatua.(*)