Perintah Berpuasa sebelum Kewajiban Berpuasa di Bulan Ramadhan

Perintah Berpuasa sebelum Kewajiban Berpuasa di Bulan Ramadhan

BERANDARAMADHAN – Sebelum adanya kewajiban puasa sebulan penuh pada Ramadan, Nabi Muhammad saw. menjalankan puasa hari Asyura (10 Muharam) seperti umumnya orang-orang Quraisy.

Hal ini diriwayatkan dari Aisyah, “Dahulu, hari Asyura adalah hari dipergunakan orang-orang Quraisy untuk berpuasa pada masa jahiliyah. Rasulullah saw. melakukan puasa itu.”

Kala sampai ke Madinah, Nabi juga berpuasa pada hari tersebut dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa pada hari itu pula. Lalu ketika perintah puasa Ramadan turun, maka puasa ‘Asyura ditinggalkan.

Dalam Kasyifah al-Saja karya Syekh Nawawi al-Bantani disebutkan, “Puasa Ramadhan diwajibkan atau difardukan pada Sya’ban tahun 2 Hijriah.

Setelah mendapat perintah wajib tersebut, Rasulullah saw. berpuasa sebanyak 9 kali bulan Ramadan.” Setelah turunnya Surah al-Baqarah:183, Rasulullah membebaskan umat Islam, barang siapa yang ingin berpuasa ‘Asyura maka hendaklah ia berpuasa, sedangkan siapa yang tidak ingin berpuasa, maka puasa hari Asyura itu dapat ditinggalkan.

Pada awal dijalankannya ibadah puasa, umat Islam diwajibkan berpuasa sampai waktu magrib. Setelah berbuka mereka diperbolehkan makan, minum, dan melakukan hubungan suami-istri hingga melaksanakan salat Isya dan tidur. Namun, setelah itu, mereka tidak makan dan minum hingga tiba saatnya berbuka.
Saat itu umat belum mengetahui batas kapan dimulainya puasa dalam sehari. Ada seorang sahabat dari kalangan Anshar, Qais bin Shirmah Al Anshari. Ketika tiba waktu berbuka, ia mendatangi sang istri, dan bertanya “apakah kamu punya sesuatu yang bisa dimakan?”

Tidak ada makanan di rumah Qais. Sang istri kemudian berinisiatif untuk mencari sesuatu untuknya.

Namun, ketika istri tersebut pergi, Qais yang kelelahan karena bekerja dan menahan lapar seharian, ketiduran. Ketika terjaga, otomatis Qais mengira ia tidak diperbolehkan makan lagi. Ia mesti berpuasa hinga tiba waktu berbuka esok harinya.

Qais kemudian kembali bekerja di lahannya, tetapi ia pingsan sebelum tengah hari. Ia lantas mengadukan kejadian ini kepada Nabi Saw. Dari sinilah turun Surah al-Baqarah ayat 187. Dalam ayat tersebut, Allah memperbolehkan umat Islam makan, minum, dan berhubungan intim dengan para istrinya sepanjang malam bulan puasa hingga terbit fajar.

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan istri-istrimu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampunimu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.”(*)