Obat malaria seperti Hydroxychloroquine disebut tak efektif untuk mencegah infeksi virus Covid-19.
Berdasarkan penelitian atau uji klinis yang dilakukan oleh tim peneliti dari University of Minnesota ini dilakukan terhadap 821 peserta dari Amerika Serikat dan Kanada pada Maret 2020 lalu.
Para peserta dilaporkan telah melakukan kontak dengan pasien positif Covid-19 selama lebih dari 10 menit pada jarak dua meter atau kurang. Rata-rata kontak dilakukan tiga hari sebelum uji coba dilakukan. Mayoritas peserta dianggap berisiko tinggi tertular Covid-19.
“Uji coba ini menemukan hydroxychloroquine tak ampuh mencegah Covid-19 setelah berkontak dekat dengan pasien positif,” tulis para peneliti dalam hasil studi yang dipublikasikan di New England Journal of Medicine.
Dalam uji coba, semua peserta secara acak diberikan hydroxychloroquine atau plasebo dalam waktu empat hari.
Para peneliti kemudian melihat perkembangan virus pada peserta. Peneliti mencoba menghitung berapa pasien yang terkonfirmasi mengembangkan Covid-19 selama dua pekan ke depan setelah pemberian obat dengan tes laboratorium atau gejala-gejala klinis.
Hasil penelitian menemukan, sebanyak 49 dari 414 peserta yang mendapatkan hydroxychloroquine terkonfirmasi positif Covid-19. Sementara dari kelompok plasebo, terdapat 58 dari 407 peserta yang terkonfirmasi positif.
Angka di atas berarti sama dengan 11,83 persen dari kelompok hydroxychloroquine dan 14,25 persen dari kelompok plasebo yang terkonfirmasi positif.
Perbedaan tipis sebesar 2,4 persen dianggap tak mendukung kemampuan obat untuk mencegah infeksi. Tak ada reaksi atau efek samping serius yang dilaporkan.
Sebagaimana diketahui, hydroxychloroquine dipuji-puji oleh Presiden AS Donald Trump. Trump menggunakan hydroxychloroquine sebagai obat profilaksis atau pencegah infeksi SARS-CoV-2.
Sebelumnya, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan bahwa uji coba klinis hydroxychloroquine akan kembali dilanjutkan setelah sebelumnya ditunda sementara karena hasil publikasi The Lancet yang menyebutkan bahwa obat dapat meningkatkan risiko kematian di antara pasien Covid-19.