Keteladanan Nabi Ibrahim dalam Berkurban

243

Memperingati hari raya Idul Adha mengingatkan kita kepada pribadi agung Nabi Ibrahim AS dan keluarganya sebagai teladan bagi umat manusia. Keluarga yang taat, bersyukur dan sabar. Keluarga yang harmonis dan rukun. Keluarga yang melahirkan generasi yang saleh. Keluarga yang mampu membangun peradaban manusia berbasis tauhid dan syariah yang agung.

Para Rasul memiliki kelebihan yang berbeda-beda, sebagaimana Nabi Ibarahim AS, Allah SWT telah mengangkat derajatnya sekaligus menjadi teladan yang baik (uswah) bagi umat manusia sesuai dengan firman Allah :

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: “Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah”. (Ibrahim berkata): “Ya Tuhan kami hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,”(QS. Al-Mumtahanah:4).

Kisah agung Nabi Ibrahim adalah bukti peneguhan nyata akan tauhid, perjalanan hidupnya selalu berpijak pada kebenaran dan tidak pernah berpaling dari kebenaran, beliau selalu patuh kepada Allah dengan tulus dan ikhlas, juga selalu bersyukur atas nikmat yang diperolehnya. Sesuai dengan firman Allah :

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus”.(QS. an-Nahl: 120-121)

Beliau adalah sosok pembawa panji-panji tauhid, perjalanan hidupnya yang panjang syarat dengan dakwah kepada tauhid dengan segala lika-likunya, sejak dakwah beliau kepada kaumnya di Babilonia, Irak, saat menghadapi Raja Namrud dan pengikutnya hingga perintah hijrah beliau ke wilayah Syam, Palestina untuk menjaga dan memakmurkan Masjidil Aqsa serta perintah Allah untuk membawa sebagian keluarganya (Hajar dan Ismail putranya) ke wilayah Hijaz (Makkah Al Mukaramah).

Gambaran tentang dakwah tauhid yang beliau sampaikan serta ketegasan terhadap segala kemusyrikan, Allah terangkan dalam surat al-Mumtahanah di atas.

Syariat kurban pertama kali dilakukan oleh Nabi Ibrahim, berdasarkan firman Allah: “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. (QS. as-Shafat: 107).

Kata kurban berasal dari bahasa Arab, yakni qaraba, yaqrabu, qurbanan yang memiliki arti dekat. Kurban juga disebut al-udhhiyyah dan adh-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan.

Secara istilah kurban berarti mendekatkan diri kepada Allah dengan menyembelih hewan kurban (seperti unta, sapi (kerbau), dan kambing) pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13).

Perintah berkurban ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

“Maka laksanakan salat karenaTuhan-mu dan berkurbanlah” (QS. al Kautsar: 2).

Bahkan Rasulullah menekankan pentingnya berkurban dengan ancaman sebagaimana hadits dari Abu Hurairah r.a.: “Barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk berkurban, tapi ia tidak mau berkurban, maka janganlah ia dekat-dekat tempat salat kami.” (HR. Ahmad)

Berdasarkan Alquran dan hadits Rasulullah, berkurban itu memberikan hikmah yang banyak, di antaranya:

Berkurban sebagai syiar Islam (QS. al-Hajj; 34).
Berkurban sebagai kenangan untuk mengingat kecintaan Allah kepada Nabi Ibrahim Alaihi Salam (QS. ash-Shafat: 102).
Berkurban sebagai misi kepedulian kepadamu sesama (HR. Muslim).
Berkurban merupakan ciri keislaman seseorang (HR. Ahmad).
Ibadah kurban adalah amal yang paling dicintai pada hari itu (HR. Ibnu Majah dan Tirmidzi).
Setiap yang berkurban akan mendapatkan pahala sebanyak bulu yang melekat pada hewan kurban (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).

Idul Adha sejatinya merayakan kemenangan spiritual setelah sukses dengan makrifatullah (mengenal Allah) dalam puncak rangkaian ibadah Haji pada peristiwa wukuf di Arafah yang berarti manusia berhenti pada titik ia mengenal dirinya dan mengenal penciptanya, Allah .

Sehingga semangat berkurban ini adalah semangat berjihad yang tak terkalahkan dengan harta, tahta, wanita dan anak tercinta yang dapat mengantarkan pada cinta yang otentik dan kedekatan yang paling tinggi di hadapan Allah SWT. Sebagaimana firman-Nya yang lain:

“Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayangan-Nya”. (QS. an-Nisa: 125). (hmz)

Sumber:
– Ali Farkhan Tsani, Da’i Pesantren Al-Fatah Bogor, Jabar, Majelis Dakwah Pusat Jama’ah Muslimin (Hizbullah)