Banalitas Kekerasan Dalam Kekuasaan Politik

Ilustrasi

OPINI – Mengacu kepada perspektif Filsafat politik, negara tidak hanya berhak melakukan kekerasan, melainkan memegang monopoli. Artinya secara sederhana dapat dimaknai bahwa selain negara tidak ada pihak lain yang berhak melakukan kekerasan terhadap pihak lain dalam masyarakat. Lebih jauh, sebaliknya pihak pihak manapun yang melakukan kekerasan harus ditindak oleh negara, baik dengan cara persuasi maupun dengan kekerasan (violence).  Arkelogi dan morfologi kekuasaan secara antropologi sejatinya tidak lain adalah cerita kelam tentang kekerasan, kejahatan kemanusian, dan hegemoni kelompok yang paling kuat terhadap yang lemah meminjam istilah Antonio Gramscy.

Imajinasi dan fantasi manusia terhadap negara secara kognitif serupa dengan Tuhan, negara direpresentasikan sebagai sebuah simbol kekuatan besar yang  tidak saja bersifat abstrak melainkan juga bertindak empiris mengatur, menguasai dan mengendalikan semua kepetingan dan kehendak warga negara dengan kontitusi atau melanggar konstitusi. Secara metaforik negara ibarat  Leviathan makhluk raksasa besar serupa monster yang kuat dalam deskripsi Thomas hobbes,  negara secara empiris dan historis sering menampilkan rupa dualisme, pertama negara memainkan peran dan fungsi-fungsi penting sebagai  pencipta ketertiban sosial (stabilisator), kesejahteraan(prosperity), keadilan (social justice) dan pertahanan keamanan (security defense). Fungsi ideal negara tersebut, semakin tergerus legitimasinya karena praktek negara modern yang semakin berwatak imperialis, ekspansif dan represif. Akibatnya negara tidak jarang menjadi sumber utama penyulut kekerasan, penculikan, pembunuhan dan teror-teror mengerikan lainnya.

Uniknya dewasa ini, evolusi kekerasan dan kejahatan yang dilakukan oleh negara telah mengalami perluasan makna dan penghalusan terminologi secara semiotic. Kejahatan yang dilakukan melalui instrumen negara tidak lagi dianggap sebagai penyalahgunaan otoritas (abuse of power) yang mengerikan melainkan dianggap sebagai peristiwa banalitas (meminjam istilah Filsuf Hannah Arrendt.

Banalitas kejahatan dimaknai sebagai  anggapan yang wajar, normal, dan lumrah terhadap semua bentuk kekerasan maupun kejahatan yang dilakukan oleh negara dengan berbagai instrumennya. Sebut saja aneka bentuk penindasan terhadap warga sipil, penggusuran paksa, represi dan intimidasi negara terhadap kelompok yang kritis kepada pemerintah tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang salah bahkan parahnya kejahatan tidak dianggap tidak ada.

Kasus penembakan anggota FPI, Penculikan Aktivis 98, Pembunuhan terhadap Marsinah, Wiji Thukul, dan Petrus di era Soeharto. Seringkali mudah dilupakan dalam memori kolektif publik karena terjadi semacam penghalusan semantik dari tindakan keji kejahatan menjadi perilaku  (meminjam istilah Hannah Arrendt.  hingga Hannah Arendt pernah menuturkan bahwa “every moral act was illegal and every legal act was a crime” Ada dua hal menurut Arendt yang bisa menyebabkan seseorang terpapar banalitas. Pertama, manusia mengalami kejenuhan akibat kesepian dari grup modernitas (manusia hidup bersama tetapi masing-masing sibuk dengan dirinya). Kedua, melarikan diri dari masalah karena seseorang tidak berani mengambil keputusan menurut nuraninya yang mengakibatkan seseorang patuh total terhadap hukum. Ketiga, berbagai tendensi totaliter dalam kekuasaan.

Ketika kita menganggap peristiwa kejahatan dan kekerasan baik yang dilakukan secara sistematik oleh negara maupun masyarakat sebagai kondisi biasa, alami dan wajar. Saat yang sama kita sudah mengidap dan terpapar oleh banalitas kejahatan. Korupsi, nepotisme dan merebaknya dinasti_ dinasti politik sebagai parasit demokrasi tidak boleh dianggap sebagai hal biasa atau banal tetapi  sebuah anomali dan  penyimpangan demokrasi. Terlalu banyak kekeliruan yang terjadi dalam demokrasi kita sebut saja tragedi Gibran di MK, politik bansos dan politik uang tidak lagi dilihat sebagai petaka demokrasi malah menjadi praktek yang banyak dilakukan. Banyak soal pelik yang dilanggar tetapi kita tetap diam menganggapnya sebagai kewajaran, kewarasan   dan kelaziman. Itulah banalitas demokrasi yang sebenarnya.

 

Penulis
Dr. Alfisahrin, M.Si
Pakar Antropologi Politik