OPINI – Prinsip dasar dari semua agama mengenal dengan istilah ritual, karena setiap agama memiliki ajaran tentang hal yang sakral. Salah satu tujuan pelaksanaan ritual adalah pemeliharaan dan pelestarian kesakralan. Disamping itu ritual merupakan tindakan yang memperkokoh hubungan pelaku dengan objek yang suci, dan memperkuat solidaritas kelompok yang menimbulkan rasa aman dan kuat mental.
Sebagian dari manusia itu sendiri yang menganggap ibadah itu hanyalah sekedar menjalankan rutinitas dari hal-hal yang dianggap kewajiban, seperti sholat dan puasa. Sayangnya, kita lupa bahwa ibadah tidak mungkin lepas dari pencapaian kepada Tauhid terlebih dahulu. Mengapa? keduanya berkaitan erat, karena mustahil kita mencapai tauhid tanpa memahami konsep ibadah dengan sebenar-benarnya.
Adapun pendapat dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengatakan bahwa: “Ibadah adalah suatu istilah yang mencakup segala sesuatu yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa perkataan maupun perbuatan, yang tersembunyi (batin) maupun yang nampak (lahir).
Dari definisi singkat tersebut, maka secara umum ibadah seperti yang kita ketahui di antaranya yaitu mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan ramadhan (maupun puasa-puasa sunnah lainnya), dan melaksanakan haji. Selain ibadah pokok tersebut, hal-hal yang sering kita anggap sepele pun sebenarnya bernilai ibadah dan pahalanya tidak dapat diremehkan begitu saja
Pengertian Ibadah
Pengeetian ibadah secara bahasa adalah tunduk atau merendahkan diri. Sedangkan secara istilah atau syara’, ibadah merupakan suatu ketaatan yang dilakukan dan dilaksanakan sesuai perintah-Nya, merendahkan diri kepada Allah SWT dengan kecintaan yang sangat tinggi dan mencakup atas segala apa yang Allah ridhai baik yang berupa ucapan atau perkataan maupun perbuatan yang dhahir ataupun bathin.
Pada dasarnya ibadah dapat di bagi dalam tiga kategori utama antara lain:
1. Ibadah hati (qalbiah) adalah ketika seseorang telah memiliki rasa takut, rasa cinta (mahabbah), mengharap (raja’), senang (raghbah), ikhlas, tawakkal.
2. Ibadah lisan & hati (lisaniyah wa qalbiyah) adalah dalam bentuk dzikir, tasbih, tahlil, tahmid, takbir, syukur, berdoa, membaca ayat Al-qur’an.
3. Ibadah perbuatan fisik dan hati (badaniyah wa qalbiyah) adalah yang dilaksanakan dalam bentuk sholat, zakat, haji, berjihad, berpuasa.
Adapun pengertian Ibadah secara istilah (terminologi) adalah penghambaan seorang manusia kepada Allah untuk dapat mendekatkan diri kepada-Nya sebagai realisasi dari pelaksanaan tugas hidup selaku makhluk yang diciptakan Allah.
Selanjutnya pengertian ibadah secara bahasa (etomologis) berasal dari bahasa Arab dengan asal kata ‘abada, ya’budu, ‘abdan, fahuwa ‘aabidun. ‘Abid, berarti hamba atau budak, yakni seseorang yang tidak memiliki apa-apa, hatta dirinya sendiri milik tuannya, sehingga karenanya seluruh aktifitas hidup hamba hanya untuk memperoleh keridhaan tuannya dan menghindarkan murkanya.
Keberadaan manusia di ciptakan muka bumi ini adalah adalah hamba Allah “Ibaadullaah” jiwa raga haya milik Allah, hidup matinya di tangan Allah, rizki miskin kayanya ketentuan Allah, dan diciptakan hanya untuk ibadah atau menghamba kepada-Nya.
Sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an pada surah al-Dzariyat ayat 56 :
وما خلقت الجن والانس الا ليعبدونِ
Terjemahannya:
“Tidak Aku ciptakan Jin dan Manusia kecuali hanya untuk beribadah kepada-Ku” (QS. al-Dzariyat: 56).
Pembagian ibadah dalam ajaran agama Islam berdasarkan jenisnya dapat di bagi dalam dua hal antara lain adalah:
1. Ibadah Mahdah
Ibadah Mahdah adalah penghambaan yang murni hanya hubungan hamba dengan Allah. Ibadah Mahdah memiliki 4 prinsip :
– Keberadaannya harus berdasarkan adanya dalil perintah yang berdasarkan baik dari Al-Quran maupun Al-Sunnnah. Jadi merupakan otoritas wahyu, tidak boleh ditetapkan oleh akal atau logika keberadaannya. Tata caranya harus berpola kepada contoh dari Rasulullah Muhammad SWA, salah satu tujuan diutus Rasul oleh Allah adalah untuk memberikan contoh dalam al-Qur;an yang berbunyi :
وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ رَّسُوْلٍ اِلَّا لِيُطَاعَ بِاِذْنِ اللّٰهِ
Terjemahannya:
“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul kecuali untuk ditaati dengan izin Allah” (QS. An-Nisa Ayat 64)
– Bersifat supra rasional (diatas jangkauan akal) Yang berarti ibadah bentuk ini bukan ukuran logika, karena bukan wilayah akal, melainkan wilayah wahyu. Akal hanya berfungsi memahami rahasia dibaliknya yang disebut hikmah at-tasyri.
– Azasnya “taat” yang dituntut dari hamba dalam melaksanakan ibadah ini adalah kepatuhan atau ketaan.
– Hamba wajib meyakini bahwa apa yang diperintahkan Allah, semata untuk kebahagiaan hamba, bukan untuk Allah, dan salag satu misi utama diutus Rasul adalah untuk dipatuhi.
2. Ibadah Ghairu Mahdah (tidak murni semata hubungan dengan Allah)
Pengertian dari ibadah ghairu mahdhah ialah segala amalan yang diizinkan oleh Allah yang tata cara dan perincian-perinciannya tidak ditetapkan dengan jelas. Dengan prinsip: Keberadaannya didasarkan atas tidak adanya dalil yang melarang, selama Allah dan Rasul-Nya tidak melarang maka ibadah bentuk ini boleh dilakukan.
Tata laksananya tidak perlu berpola kepada contoh Rasulullah sehingga perkara baru (bid’ah) dalam ibadah ghairu mahdhah diperbolehkan. Bersifat rasional, ibadah bentuk ini baik-buruknya, atau untung-ruginya, manfaat atau mudharatnya, dapat ditentukan oleh akal atau logika. Sehingga jika menurut logika sehat, itu buruk, merugikan dan mudharat, maka tidak boleh dilaksanakan. Azasnya Manfaat, selama itu bermanfaat maka boleh dilakukan.
Oleh karena itu dalam ibadah ghairu mahdhah, jangan bertanya mana dalil yang memerintahkannya. Tapi tanyakan dalil mana yang melarangnya?Dalam Ibadah ini berlaku kaidah ushul fiqih :
اَ لْأَصْلُ فِي اْلأَشْيَاءِ اْلإِبَاحَةِ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ
Artinya:
“Pada dasarnyasegala sesuatu itu hukumnya diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannyasegala sesuatu itu hukumnya diperbolehkan sepanjang tidak ada dalil yang menunjukkan keharamannya”
Adapun contoh ibadah ghairu mahdhah antara lain: Masalah-masalah furu, seperti shalat subuh dengan qunut atau tidak, dzikir, dakwah, tolong menolong dll. Jika dalam ibadah mahdhah yang bersifat ta’abbudi tidak boleh ada improvisasi, maka dalam ibadah ghairu mahdhah ini justru terbuka lebar terhadap inovasi. Tidak ada bid’ah (kullu bid’atin dlalalah) dalam ibadah ghairu mahdhah.