BUDAYA – Kabupaten Wajo di Sulawesi Selatan dikenal sebagai Bumi Lamaddukelleng, tanah yang kaya akan budaya dan tradisi leluhur. Dari wilayah ini lahir salah satu warisan budaya yang paling berharga dan mendunia Tenun Sutera Wajo, simbol keanggunan, ketekunan, dan identitas masyarakat Bugis yang telah bertahan lintas generasi.
Asal-usul Tenun Sutera di Wajo
Tenun sutera di Wajo memiliki sejarah panjang yang tak lepas dari kehidupan masyarakat Bugis sejak ratusan tahun lalu. Dulu, kegiatan menenun dilakukan oleh kaum perempuan di rumah-rumah panggung sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Mereka menggunakan alat tenun tradisional dari kayu, dan setiap motif yang dihasilkan mencerminkan status sosial, harapan, serta doa.
Seiring waktu, tradisi ini berkembang menjadi bagian penting dari ekonomi lokal. Desa-desa seperti Sengkang, Pammana, dan Tosora dikenal sebagai sentra tenun terbaik di Sulawesi Selatan. Kain yang dihasilkan bukan sekadar kebutuhan pakaian, tetapi simbol kebanggaan budaya Bugis yang diwariskan secara turun-temurun.
Proses Pembuatan yang Sarat Nilai Filosofis
Proses pembuatan tenun sutera Wajo sangatlah teliti dan membutuhkan kesabaran tinggi. Semuanya dilakukan secara manual — mulai dari memintal benang, mewarnai, hingga menenun di alat tradisional.

Pemintalan Benang Sutera:
Benang berasal dari kokon ulat sutera yang dibudidayakan secara lokal. Hasilnya memiliki kilau alami yang lembut dan elegan.
Pewarnaan Alami:
Warna diperoleh dari bahan alami seperti daun, akar, dan kulit kayu. Warna-warna ini melambangkan makna tertentu — merah untuk keberanian, kuning untuk kemuliaan, dan hijau untuk kesuburan.

Menentukan Motif:
Setiap tenunan memiliki motif khas seperti Balo Renni, Balo Tettong, Walennae, hingga Tope Lipa’. Motif ini bukan sekadar pola indah, tetapi mencerminkan nilai kehidupan, hubungan sosial, dan harapan akan kesejahteraan.
Makna Budaya di Balik Kain Sutera
Bagi masyarakat Bugis, kain sutera bukan sekadar busana adat. Ia adalah simbol kehormatan, martabat, dan status sosial. Dalam upacara adat seperti pernikahan, tamu kehormatan, atau pelantikan pejabat, kain sutera Wajo selalu hadir sebagai lambang keanggunan dan penghormatan terhadap tradisi.
Konsep “siri’ na pacce” — harga diri dan empati sosial — tercermin dalam cara masyarakat menghargai tenun sutera. Memakai kain sutera asli Wajo berarti menjaga kehormatan budaya dan menghargai kerja keras para penenun.
Tenun Wajo di Panggung Dunia
Kini, tenun sutera Wajo tidak lagi terbatas pada pasar lokal. Kain ini telah menarik perhatian desainer nasional hingga internasional. Pameran budaya di Jepang, Prancis, dan Malaysia kerap menampilkan keindahan sutera Wajo sebagai representasi keanggunan tekstil Indonesia.
Beberapa desainer muda Bugis bahkan mulai menggabungkan motif tradisional dengan desain modern untuk pasar global. Kain sutera kini hadir dalam bentuk busana kontemporer seperti gaun, hijab, dan aksesori fashion yang tetap mempertahankan sentuhan etnik khas Wajo.
Meski tenun sutera Wajo telah mendunia, tantangan besar tetap ada. Persaingan dengan produk tekstil pabrikan, berkurangnya penenun muda, serta naiknya harga bahan baku menjadi persoalan utama.
Namun, berbagai pihak kini mulai bergerak. Pemerintah daerah bersama komunitas penenun dan UMKM lokal aktif memberikan pelatihan, promosi digital, dan bantuan alat tenun modern agar warisan ini tetap lestari.
Platform media sosial pun kini menjadi wadah baru bagi promosi kain sutera. Generasi muda Wajo menggunakan Instagram dan TikTok untuk memperkenalkan keindahan motif lokal kepada dunia.
Tenun Sutera Wajo bukan sekadar kain indah ia adalah kisah tentang ketekunan, filosofi hidup, dan kebanggaan budaya Sulawesi Selatan. Di setiap helaian benang, tersimpan doa dan kerja keras perempuan Wajo yang menjaga tradisi agar tidak punah di tengah arus modernisasi.
Melestarikan tenun sutera bukan hanya tugas warga Wajo, tetapi tanggung jawab bersama untuk menjaga jati diri bangsa. Karena dari selembar kain, dunia bisa mengenal betapa kayanya budaya Indonesia.(*)





