OPINI – Lebih dari dua puluh lima tahun reformasi berjalan, Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) masih menjadi institusi yang paling sering dipersoalkan publik. Ironisnya, kritik itu bukan datang dari ketidakmampuan Polri menjaga keamanan, melainkan dari cara Polri menggunakan kewenangannya. Pertanyaan mendasarnya sederhana namun mengganggu: apakah reformasi Polri benar-benar berjalan, atau hanya berubah pada kemasan tanpa menyentuh substansi?
Reformasi yang Berhenti di Spanduk dan Slogan
Sejak dipisahkan dari TNI pada 1999, Polri digadang-gadang menjadi aparat sipil yang profesional, netral, dan humanis. Namun realitas di lapangan sering berkata sebaliknya. Program demi program diluncurkan, jargon demi jargon diganti—dari community policing hingga Presisi. Sayangnya, jargon itu kerap lebih rajin muncul di baliho dan pidato ketimbang dalam praktik pelayanan sehari-hari.
Modernisasi teknologi, seragam baru, dan sistem digital tidak otomatis menghasilkan polisi yang berintegritas. Ketika kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi masih menjadi cerita rutin, maka reformasi patut dicurigai telah mandek di permukaan.
Kekuasaan Besar, Akuntabilitas Kecil
Polri hari ini memiliki kewenangan yang sangat luas: penegakan hukum, pengamanan politik, hingga keterlibatan dalam agenda strategis nasional. Namun, kekuasaan yang besar tidak diimbangi dengan akuntabilitas yang sepadan.
Kasus pelanggaran oleh oknum anggota sering kali diselesaikan secara internal, tertutup, dan minim transparansi. Publik jarang mengetahui proses, apalagi logika putusan etik dan disiplin. Di titik ini, Polri seolah menjadi hakim bagi dirinya sendiri—sebuah kondisi berbahaya dalam negara demokrasi.
Jika aparat penegak hukum tidak tunduk pada pengawasan yang kuat, maka hukum akan mudah berubah menjadi alat kekuasaan, bukan alat keadilan.
Budaya Impunitas yang Tak Kunjung Diputus
Masalah paling serius reformasi Polri bukanlah kurangnya regulasi, melainkan budaya impunitas. Pelanggaran yang dilakukan anggota kerap diperlakukan sebagai “oknum”, seakan kesalahan individu tidak pernah berkaitan dengan sistem.
Padahal, ketika pelanggaran terjadi berulang dengan pola yang sama, maka yang bermasalah bukan lagi individu, melainkan institusi. Reformasi yang enggan menyentuh akar budaya organisasi hanya akan melahirkan siklus: kasus meledak, publik marah, institusi berjanji, lalu situasi kembali normal—hingga kasus berikutnya muncul.
Polisi dan Warga: Relasi yang Belum Setara
Dalam banyak kasus, relasi Polri dengan warga masih dibangun di atas logika kuasa, bukan pelayanan. Warga diposisikan sebagai objek pengamanan, bukan subjek yang memiliki hak. Kritik sering dipersepsikan sebagai ancaman, bukan koreksi.
Padahal, dalam negara demokrasi, polisi seharusnya menjadi institusi paling siap menerima kritik. Ketika kritik justru direspons dengan represi, maka reformasi patut dipertanyakan ulang.
Kepercayaan Publik yang Terus Dipertaruhkan
Kepercayaan publik terhadap Polri ibarat grafik naik-turun yang rapuh. Satu keberhasilan besar bisa menaikkan citra, tetapi satu kasus brutal cukup untuk meruntuhkannya. Ini menandakan bahwa reformasi belum bersifat sistemik, melainkan masih bergantung pada figur pimpinan dan manajemen krisis.
Tanpa mekanisme pengawasan eksternal yang kuat dan independen, kepercayaan publik akan terus menjadi komoditas yang dipertaruhkan, bukan fondasi yang kokoh.
Reformasi yang Seharusnya Menyakitkan
Reformasi sejati selalu menyakitkan bagi institusi, karena menuntut pembatasan kekuasaan dan keterbukaan terhadap koreksi. Jika reformasi Polri hanya menghasilkan kenyamanan internal, maka itu bukan reformasi, melainkan penyesuaian kosmetik.
Pembenahan rekrutmen, promosi jabatan berbasis integritas, transparansi penanganan pelanggaran, serta penguatan pengawasan eksternal bukan pilihan, melainkan keharusan. Tanpa itu, Polri akan terus terjebak dalam paradoks: kuat secara institusional, tetapi rapuh secara legitimasi.
Reformasi Polri hari ini berada di titik krusial. Ia bisa menjadi fondasi polisi sipil yang demokratis, atau berubah menjadi mitos reformasi yang terus diulang tanpa makna. Publik tidak lagi membutuhkan janji dan slogan, melainkan keberanian institusional untuk berubah secara radikal dan jujur.
Sebab, di negara hukum, masalah terbesar bukan ketiadaan polisi, melainkan polisi yang terlalu berkuasa tanpa pengawasan.(red)





