Problem Intelektual di Panggung Politik Lokal

Dr. Alfisahrin, M.Si, Pakar Antropologi Politik

OPINI – Minimnya intelektual yang terpilih di bursa Pileg dan Pilkada, bukti karatnnya pragmatisme dan menguatnya politik dinasti. Selera dan aspirasi publik masih stagnan dipasung oligarki. Kita butuh aksi dan gerakan memecah jumudnya nalar dan bekunya kesadaran pemilih agar terpilih pemimpin-pemimpin intelektual yang kredibel dan memiliki akuntabiltas publik yang tinggi. Akal masyarakat harus tercerahkan dan berfungsi praktis membimbing etik pemilih. Pengetahuan harus menumbuhkan kesadaran logis dan kultural pada pemilih.

Begitu banyak intelektual yang peduli dan punya passion terlibat dipolitik tetapi selalu gagal menuai dukungan publik.

Beberapa sebab kegagalan intelektual tidak laku dipasar transaksi pileg dan pilkada menurut saya.

Pertama; kiprahnya memang masih mengawang di mimbar-mimbar akademik dan podium-podium ilmiah tetapi tidak mengakar dan membumi di nadi persoalan masyarakat. Pemilih tradsional tidak cukup kenyang dengan antrian deretan titel, publikasi ilmiah dan prestasi-prestasi akademik. Lazimnya mereka butuh apa yang cepat memuaskan kebutuhan mereka.

Demokrasi akan baik apabila fundamen ekonomi publik kuat dan pendidikan berfungsi apik serta etik menggugah kesadaran logis pemilih bahwa demokrasi dan politik, sirkulasinya harus menyertakan aktor-aktor  terdidik yang harus dipilih untuk mengendalikan laju dan menentukan ritme kemajuan negara serta daerah. Kegagalan kedua; politisi dari akademisi, umumnya mereka cenderung terlambat membaca dan mengisi momentum tetapi lebih cepat serta agresif memasuki arena gelanggang politik secara instan tanpa mengukur berat dari bobot akumulatif modal sosialnya.

Aspirasi dan preferensi politiknya cenderung dibentuk oleh watak ekologi, budaya dan aktivitasnya sebagai petani. Sehingga politik gagasan dan kawasan serta sentiment-sentimen akademis tidak laku menjawab kebutuhan serta kepentingan mereka. Politisi kawakan yang berpengalaman tentu lebih cerdik dan mengetahui strategi menjinakan aspirasi pemilh tipe tradisional ketimbang politisi intelektual.

Menurut saya, banyak politisi intelektual gagal melakukan kontekstualisasi mengarsiteki dengan matang ranah dan tipologi pemilih sehingga politisi intelektual banyak gagal mendulang dukungan. Oleh karena itu, menyelami, menggeluti dan cermat membaca gambar besar pemilih penting bagi politisi intelektual agar tidak terburu-buru menyeret diri dalam alot dan kerasnya kontestasi politik praktis yang berbiaya tinggi. Benamkan diri dulu dengan kiprah, raih simpati, tunjukan empati dan taklukan alam pikiran bawah sadarnya masyarakat baru kita buat kalkulasi besar atau kecilnya bobot modal politik dalam neraca timbangan pemilih.

Kegagalan ketiga; politisi intelektual sebenarnya mereka tidak kekurangan gagasan, mereka diantaranya melimpah secara finansial bahkan popularitasnya mumpuni dikenal publik.

Beberapa tampil kompleks melengkapi diri dengan ide besar, visioner dan penuh talenta tetapi persoalnya, mereka kerumitan mengatur dan mengkonsolidasi tim yang mengorganisasi kepentingannya sebagi aktor. Dalam prakteknya dilapangan politisi intelektual sukar menemukan kreator tim yang gigih berjuang, ulet bekerja, cakap diplomasi dan terpercaya. Tokoh yang didapatkan pun sulit dipercaya komitmen dan kesungguhannya dalam memberi dukungan politik pada intelektual selalu alasanya belum teruji diranah praktis masyarakat.

Saya menemukan bahwa integritas dan konsistensi tokoh yang dipercayai tim dari politisi intelektual yang diharapkan memberi efek elektoral cenderung lentur. Artinya, setiap calon yang mendatangi dijanjikan dukugn yang sama besarnya sementara kita butuh dukungan yang militan yang pasti dan kaku tidak bersayap. Umumnya simpu-simpul kekuatan politik di masyarakat selalu terdiri dari elit Agama, budaya dan pemuda. Sayangnya mereka belum mampu jadi pionir dari menguatnya politik gagasan yang ditawarkan politisi intelektual.

Adapun menjadi bagian penting bagi preservasi kelanggengan politik praktis yang transaksional. Akibatnya saat pilkada dan pileg kita surplus pemilih munafik, pembohong dan ingkar janji yang sudah memiliki lebih dulu afiliasi dan koneksi dengan aktor politisi kelas menengah pemilik modal besar seperti, pengusaha, mantan birokrat dan anak pejabat.

Ini menjadi problem rumitnya intelektual mengisi struktur kekuasaan politik di daerah-daerah padahal kehadiran orang-orang  pintar dalam kekuasaan dapat membangun peradaban Bangsa dan kehidupan sosial yang lebih baik. Untuk itu berpihaklah pada mereka yang standar moral dan intelektualnya jadi modal utama ketika memasuki panggung politik praktis.

Penulis
Dr. Alfisahrin, M.Si
Pakar Antropologi Politik