OPINI – Untuk sementara, mungkin, kita akan terpecah-pecah, orang tua tak setuju dengan pilihan politik anak-anaknya, kakak dan adik bersitegang tentang siapa yang seharusnya jadi pemimpin dinegeri ini, antara kawan saling hujat secara terbuka atau diam-diam, khutbah-khutbah di rumah-rumah ibadah mungkin juga akan terlalu politis menjelang pemilihan Pilpres dan Pilcaleg.
Mungkin memang begitu potret demokrasi di Indonesia: di masa pemilu kita akan berpesta pendapat dan unjuk kekuatan. Tapi pesta itu seringkali membuat sebagian dari kita ngeri, karena alih-alih kita membahas dan menganalisa tentang program pembangunan yang dijanjikan para kandidat, kita lebih suka membahas hal-hal personal dari para kandidat itu: ketenarannya, keagamaannya, kesalehannya, jenis kelaminnya, ras dan sukunya.
Sebagian dari kita ngeri karena kita tahu kita punya rekam jejak yang tidak elok terkait pertentangan yang justru merusak hubungan persaudaraan sesama anak bangsa. Tapi kita sering lupa akan tragedi dan memilih larut dalam perkubuan yang sebenarnya itu erat kaitannya dengan politik.
Kitapun ikut gaduh
Kita ikut gaduh, karena mungkin dengan melibatkan diri di dalamnya kita dapat menyalurkan keinginan kita untuk berkuasa dan mendominasi, tanpa peduli pada konsekuensi dari nafsu akan kuasa itu. Kita senang untuk merasa menang dan kuat, dan itu artinya kita senang melihat ada orang-orang yang berhasil kita kalahkan, berhasil kita marjinalkan, entah karena alasan apa.
Mungkin kita tak benar-benar peduli dengan program pembangunan, tentang bagaimana pembangunan dilaksanakan, dan bagaimana agar semua orang sejahtera dan bahagia. Asal kandidat kita menang, kita sudah merasa cukup, kita senang karena nafsu kekuasaan kita sudah terwakili oleh kemenangan kandidat-kandidat itu.
Setelah pesta demokrasi hampir semua tingkatan usai dihelat di beberapa wilayah, kita sementara kembali diperhadapkan pada pemilihan Presiden dan pemilihan Legislatif yang berlangsung pada tgl 14 Pebruari 2024, Potretnya pun akan sama: panas, sengit, gaduh—mungkin sampai ke taraf yang lebih dramatis.
Setelah semua itu selesai, kita akan kembali lunglai dengan berbagai masalah sehari-hari, menatap lesu pada setiap penggusuran dan perampasan hak rakyat, mencibir orang-orang yang mempertahankan hajat hidup mereka, menonton kasus penggusuran, kasus korupsi di seantero negeri sebagai hiburan biasa sehari-hari. Seakan-akan kita sendiri bukan korban dari semua ketidakadilan itu, seakan-akan semua itu tak ada kaitannya dengan politik yang sudah kita ramaikan bersama-sama, seolah-olah kita tak perlu bertanggungjawab atas tindakan orang-orang yang kita tempatkan di kursi kekuasaan—orang-orang yang mewakili nafsu kekuasaan kita, yang telah membuat kita gaduh dan bertengkar dengan sesama saudara pada hal kita seharusnya paham bahwa kemenangan, dan Kekalahan dalam pertarungan itu adalah proses untuk memperBAIKi dan memulihkan kesadaran serta ingatan, bahwa: skenario Allah Swt,.
Adalah skenario terBAIK dan Kita semua boleh saja punya ambisi dan melakukan berbagai ikhtiar, tapi Sang Penguasa Takdirlah yang menentukan hasil akhir.
# Beraspirasi itu BAIK
# Tanpa Teman kita bukan siapa-siapa
Penulis: Ian Kamaruddin, SPd, M.I.Kom
Mantan Parlemen Jalanan
Caleg Partai Golkar
Dapil 1 Binamu Turatea No Urut 8.
Ian Kamaruddin, SPD, M.I.Kom