BERANDANEWS – Makassar, Monster oligarki menjadi simbol atau wajah kekuasaan pemerintah dan korporasi saat ini yang telah mencengkram dan menguasai sendi-sendi penghidupan masyarakat yang juga membawa pesan kemerosotan (degradasi) lingkungan hidup dan sumber daya alam di Indonesia yang diakibatkan oleh sejumlah aturan yang dilegalisasi oleh pemerintah, menguntungkan korporasi, dan memiskinkan masyarakat.
Kehadiran monster oligarki di depan kantor gubernur Sulawesi Selatan pada Rabu, (5/10) tidak lepas dari banyaknya kesepakatan politik dan bisnis yang mencengkram serta menggerogoti sumber daya alam, lingkungan hidup, dan penghidupan masyarakat. Salah satunya yakni sumber daya alam pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil.
Disebutkan bahwa diSulawesi Selatan, terdapat 9 proyek infrastruktur yang masuk dalam daftar Proyek Strategis Nasional (PSN) dan salah satunya merupakan mega proyek pembangunan pelabuhan bertaraf internasional, Makassar New Port (MNP). Proyek ini mulai masuk dalam skema program PSN sejak tahun 2016 dan mulai diresmikan pada tahun 2018.
Saat ini, progres reklamasi Makassar New Port baru selesai pada tahap 1A, 1B (Pembangunan konstruksi), dan 1C (pembangunan konstruksi).
Berdasarkan master plan yang dikeluarkan oleh PT Pelindo IV menunjukkan bahwa ada tiga tahap reklamasi Makassar New Port yakni tahap 1 (A, B, C, dan D), tahap 2, dan tahap 3 (fase ultimate) dengan luasan total 1.428 Ha. Artinya, proyek ini kedepannya masih membutuhkan material pasir laut dan konflik ruang antar nelayan
dengan pemerintah dan korporasi akan kembali terjadi.
Tahun 2020 kemarin, publik masih mengingat bagaimana perjuangan dan penderitaan yang dialami oleh nelayan dan perempuan di Kepulauan Spermonde, khususnya Pulau Kodingareng akibat aktivitas tambang pasir laut untuk keperluan reklamasi MNP. Hal ini terjadi dikarenakan wilayah tangkap nelayan Spermonde ditetapkan dan dilegalisasi sebagai wilayah tambang pasir laut berdasarkan peraturan daerah Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) tahun 2019 dan kemudian tahun ini telah diintegrasikan ke dalam peraturan daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2022-2041.
Selama tambang pasir laut berlangsung, nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng mengalami penderitaan sosial-ekonomi dan wilayah tangkap nelayan rusak parah, seperti pendapatannelayan menurun drastis hampir 90%, Perubahan arus dan kedalaman laut, Air laut menjadi keruh, Terumbu karang rusak dan mengalami keputihan (bleaching) akibat sedimentasi tambang pasir laut, utang semakin menumpuk akibat pendapatan tidak ada, Banyak perempuan yang menggadaikan emasnya untuk bertahan hidup, Beberapa nelayan memilih untuk meninggalkan pulaunya untuk mencari penghidupan, Banyak anak sekolah yang harus putus sekolah, dan Banjir rob semakin mengancam.
Bahkan dua tahun pasca tambang pasir laut, dampak-dampak tersebut masih dirasakan oleh nelayan dan perempuan Pulau Kodingareng. Kondisi ini disampaikan langsung oleh Ibu Sita, salah seorang istri nelayan yang menjelaskan bahwa dua tahun pasca penambangan pasir laut, perekonomian keluarga nelayan di Pulau Kodingareng belum pulih.
“Bagaimana mau pulih perekonomian disini (Pulau Kodingareng) kalau terumbu karangnya sudah rusak karena tambang pasir laut, ikan-ikan sudah pindah tempat. Bahkan Copong (terminalnya ikan menurut para nelayan) itu sudah tidak sama seperti dahulu lagi. Ombaknya juga sudah semakin tinggi. Akibatnya, banyak sekarang keluarga nelayan di pulau sudah tinggalkan pulau untuk cari pekerjaan lain.”, ungkap Ibu Sita.
MNP dan Tambang Pasir Laut:
Oligarki Untung, Nelayan-Perempuan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Buntung !
Saat nelayan-perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil mengalami dampak sosial-lingkungan akibat aktivitas tambang pasir laut dan reklamasi MNP, di waktu yang bersamaan kelompok oligarki menikmati keuntungan dari proyek tersebut.
Tercatat pada bulan September 2020, Koalisi Selamatkan Laut Indonesia merilis hasil investigasi kelompok oligarki dibalik proyek tambang pasir laut. Setelah menelusuri sejumlah dokumen dari Ditjen AHU Kemenkumham RI dan akta perusahaan yang tercantum di dokumen AMDAL, dari total 12 izin usaha pertambangan yang beroperasi di perairan Takalar, dua di antaranya adalah PT Banteng Laut Indonesia dan PT Nugraha Indonesia Timur. Dua perusahaan ini tercatat dimiliki oleh orang-orang dekat gubernur Sulsel, Nurdin Abdullah.
Tidak hanya aktivitas tambang pasir laut, Koalisi Save Spermonde juga telah menemukan sejumlah korporasi besar dan nama-nama yang diduga kuat memiliki hubungan dekat dengan para pengambil kebijakan di balik pembangunan reklamasi dan jalan tol MNP.
Sehubungan dengan hal tersebut, Kepala Departemen Advokasi dan Kajian WALHI Sulsel, Slamet Riadi mengungkapkan bahwa awal mula merosotnya penghidupan nelayan-perempuan pesisir dan pulau-pulau kecil saat adanya aktivitas tambang pasir laut dan reklamasi CPI pada tahun 2017.(*)