BERANDANEWS – Makassar, Aroma ketidakadilan kembali menyeruak dari ruang sidang Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Seorang hakim bernama Heriyanti, S.H. diduga bertindak semena-mena dalam memeriksa perkara pidana Pasal 378 KUHP tentang Penipuan yang melibatkan terdakwa berinisial H, seorang Notaris, dan korban berinisial A, seorang dokter di Makassar.
Informasi yang dihimpun menyebutkan, kedua pihak telah berdamai secara sah dan tertulis, bahkan perdamaian tersebut telah dikuatkan dengan Akta Notaris sebagai dasar penyelesaian hukum melalui mekanisme Restorative Justice (RJ).
Namun, meski telah ada bukti perdamaian di hadapan majelis hakim, Hakim Heriyanti tetap melanjutkan sidang hingga tahap pembuktian. Langkah ini dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan restoratif yang menjadi kebijakan hukum nasional dan semangat reformasi peradilan yang humanis.
Seorang sumber yang hadir dalam persidangan mengaku heran dengan sikap hakim tersebut.
“Antara Notaris H dan Dokter A sudah berdamai. Semua kerugian telah diselesaikan secara kekeluargaan dan dituangkan dalam akta notaris. Tapi anehnya, hakim tetap melanjutkan perkara seolah tidak ada perdamaian,” ujarnya, Senin (20/10).
Sumber lain menyebutkan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) juga telah mengajukan dokumen Restorative Justice (RJ) kepada majelis hakim, lengkap dengan pernyataan damai dan bukti pengembalian kerugian. Namun, hakim ketua justru menolak mempertimbangkan perdamaian tersebut dan tetap bersikukuh bahwa proses sidang “tidak bisa dihentikan”.
LASKAR Sulsel: Hakim Harus Hormati Restorative Justice
Menanggapi hal ini, Ketua Harian Lembaga Study Hukum dan Advokasi Rakyat (LASKAR) Sulawesi Selatan, Ilyas Maulana, S.H., menyayangkan keras tindakan yang dianggap melampaui batas kewajaran tersebut.
Menurutnya, hakim seharusnya menangguhkan proses persidangan setelah adanya kesepakatan perdamaian resmi yang diakui oleh kedua belah pihak.
“Dalam kerangka hukum modern, perdamaian yang sah secara hukum merupakan dasar kuat untuk penerapan Restorative Justice. Ketika semua unsur kerugian telah diselesaikan, tujuan hukum seharusnya beralih dari penghukuman ke pemulihan hubungan sosial,” tegas Ilyas, Senin (20/10).
Ia menambahkan, kebijakan Restorative Justice (RJ) tidak hanya diatur dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020, tetapi juga dikuatkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2014, serta menjadi bagian dari politik hukum nasional sebagaimana diamanatkan dalam RPJMN bidang hukum 2020–2024.
“Sikap hakim yang tetap memaksa melanjutkan perkara padahal para pihak telah berdamai, dapat dikategorikan sebagai pengabaian terhadap asas keadilan substantif. Hakim bukan sekadar corong undang-undang, tetapi penegak nurani hukum yang menjunjung nilai kemanusiaan,” sambungnya.
Dorongan Pemeriksaan Etik
LASKAR Sulsel mendesak Ketua Pengadilan Negeri Makassar, Badan Pengawas Mahkamah Agung (Bawas MA), serta Komisi Yudisial (KY) untuk menyelidiki dugaan tindakan semena-mena tersebut.
“Langkah etik dan disiplin harus segera diambil agar kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan tidak semakin tergerus,” ujar Ilyas.
Ia menegaskan, lembaga peradilan harus menjadi ruang bagi tegaknya keadilan yang berkeadaban, bukan sekadar formalitas hukum yang kaku.
“Keadilan tidak selalu identik dengan menghukum, tetapi juga dengan memulihkan. Itulah esensi Restorative Justice yang harusnya dihormati hakim,” tutupnya.(*)





