
BERANDANEWS – Jakarta, Lima permohonan mengenai batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres dan cawapres) sebagaimana diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tidak dapat diterima. Perkara yang dibacakan tersebut, yakni Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023, 104/PUU-XXI/2023, 107/PUU-XXI/2023, 96/PUU-XXI/2023, dan 93/PUU-XXI/2023. Sidang Pengucapan Putusan tersebut berlangsung pada Senin (23/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.
Dalam konklusi kelima perkara tersebut, Mahkamah menilai pokok permohonan para Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu adalah kehilangan objek. “Menyatakan permohonan Pemohon sepanjang pengujian norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tidak dapat diterima,” ujar Ketua MK Anwar Usman yang membacakan Amar Putusan untuk kelima putusan tersebut.
Sebelumnya, Pemohon Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023 menyebut dalil para Pemohon yang mempersoalkan inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu tidak mengatur adanya syarat batasan usia maksimal untuk menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Hal ini berakibat hak konstitusional para Pemohon untuk dapat memiliki presiden dan wakil presiden yang produktif, energik, serta sehat secara rohani dan jasmani, setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan menimbulkan kerugian konstitusional apabila presiden dan wakil presiden yang terpilih dari hasil pemilihan umum yang memiliki usia lebih dari 70 tahun.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Mahkamah mempertimbangkan objek dalam permohonan a quo adalah pengujian norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu, yang tidak berbeda dengan objek permohonan dalam Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dalam Putusan tersebut, Mahkamah menyatakan pendirian untuk Pasal 169 huruf q UU Pemilu, sebagaimana dimaksud dalam amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 bertanggal 16 Oktober 2023. Amar Putusan tersebut menyatakan, “Menyatakan Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ang menyatakan, ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun’ bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’. Sehingga, Pasal 169 huruf q UU Pemilu selengkapnya berbunyi “berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah”.
Oleh karena itu, lanjut Daniel, berkaitan dengan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menjadi objek permohonan a quo telah memiliki pemaknaan baru yang berlaku sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut diucapkan, bukan lagi sebagaimana yang termaktub dalam permohonan para Pemohon. “Dengan demikian, terlepas permohonan a quo memenuhi ketentuan Pasal 60 UU MK dan Pasal 78 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang atau tidak, dalil para Pemohon berkaitan dengan pengujian inkonstitusionalitas norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017, adalah telah kehilangan objek,” ujar Daniel. Pertimbangan serupa juga tertuang dalam Putusan MK Nomor 104/PU-XXI/2023 yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra.
Perluasan Pemaknaan Norma
Dalam Perkara Nomor 102/PUU-XXI/2023, Pemohon meminta pemaknaan terhadap Pasal 169 huruf d UU Pemilu yaitu pada frasa tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya. Menurut para Pemohon, frasa dalam norma tersebut tidak mengatur secara jelas dan rinci mengenai tindak pidana berat lainnya yang ada dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lebih lanjut, frasa tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya” menimbulkan kekaburan norma sehingga menyebabkan tidak terpenuhinya asas kepastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 7A, Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 281 ayat (1), ayat (4), dan ayat (5) UUD 1945.
Terhadap dalil para Pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dalil a quo, tidak dapat dilepaskan dari esensi yang terkandung di dalam norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017 secara keseluruhan. Norma pasal tersebut secara lengkap mengatur syarat calon presiden dan wakil presiden yang harus memenuhi larangan tidak pernah menghianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana berat lainnya. Meskipun dalam petitum, para Pemohon menghendaki adanya perluasan makna ketentuan norma Pasal 169 huruf d UU Pemilu dengan menambahkan frasa “tidak memiliki rekam jejak melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang berat masa lalu, bukan orang yang terlibat dan/atau menjadi bagian peristiwa penculikan aktivis pada tahun 1998, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku penghilangan orang secara paksa, tidak pernah melakukan tindak pidana genosida, bukan orang yang terlibat dan/atau pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan dan tindakan yang anti demokrasi”. Maka, di samping menjadikan pemaknaan norma Pasal 169 huruf d UU Pemilu menjadi redundan yang berdampak pada adanya pengulangan makna yang memiliki kecenderungan adanya keragu-raguan, juga dapat mempersempit cakupan norma dasar yang secara natural terdapat dalam Pasal 169 huruf d UU Pemilu.
“Sebab, dalam frasa ‘tindak pidana berat’ termasuk tindak pidana yang dimaksudkan oleh para Pemohon agar dimasukkan dalam perluasan pemaknaan noma Pasal 169 huruf d UU 7/2017, sebagaimana petitum permohonan para Pemohon. Dengan demikian, mengakomodir apa yang menjad keinginan para Pemohon dengan cara memperluas pemaknaan norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017 menurut Mahkamah justru dapat melemahkan kepastian hukum yang sudah ada dan melekat pada norma yang bersangkutan,” jelas Daniel.
Lebih lanjut Mahkamah mempertimbangkan, dalil-dalil permohonan para Pemohon, khususnya berkenaan dengan keinginan untuk memasukkan atau menambahkan jenis tindak pidana berat sebagaimana dalam petitum permohonannya, tanpa memberikan penegasan apakah jenis tindak pidana berat yang dimaksudkan cukup dengan adanya anggapan, asumsi, dugaan, telah ada penyelidikan, penyidikan atau bahkan telah ada putusan pengadilan yang telah berkuatan tetap. Hal ini berakibat akan menambah kerumitan tersendiri pada waktu akan menerapkan norma hukum yang bersangkutan.
“Terhadap hal tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa seandainyapun yang diinginkan para Pemohon jenis tindak pidana berat yang dimaksudkan untuk dimasukkan dalam norma Pasal 169 huruf d UU 7/2017 seyogianya hal tersebut harus telah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Hal ini penting karena apabila keinginan para Pemohon dikabulkan maka justru akan berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence),” ujar Daniel.