Menggugat Kredibilitas Lembaga Survei: Antara Data, Kepentingan, dan Kecerdasan Publik

Ilustrasi Lembaga Survei

BERANDANEWS – Makassar, Hadirnya Lembaga survei kerap menjadi instrumen penting dalam demokrasi modern, terutama dalam mengukur preferensi politik masyarakat menjelang pemilu. Namun, kredibilitas lembaga-lembaga ini tak jarang menuai kecurigaan. Berkaca pada pengalaman dari Pilkada Makassar pada 2018 maupun 2020 menjadi salah satu studi kasus menarik untuk mempertanyakan peran lembaga survei, khususnya dalam memengaruhi opini publik.

Pada Pilkada Makassar 2018, calon tunggal Munafri Arifuddin (Appi), yang dipandang memiliki peluang besar untuk menang, justru kalah oleh kotak kosong. Hasil ini mengejutkan banyak pihak, mengingat kekuatan jaringan politik dan prediksi sebagian survei yang cenderung memihak calon tunggal.

Sementara itu, pada Pilkada 2020, Danny Pomanto kembali bertarung dan memenangkan pemilu, sejalan dengan hasil survei dan quick count. Dua peristiwa ini mengundang perdebatan: sejauh mana lembaga survei mampu menjadi cerminan kehendak publik, atau justru menjadi alat manipulasi?

Kecurigaan publik terhadap survei bukanlah tanpa dasar. Ada sejumlah kasus di mana hasil survei terlihat lebih sebagai upaya menggiring opini dibandingkan dengan refleksi obyektif atas aspirasi masyarakat. Sebagai contoh, sejumlah lembaga survei kerap mengeluarkan hasil dengan margin yang sangat bervariasi, mencerminkan kemungkinan adanya bias metode, kepentingan sponsor, atau bahkan pengondisian psikologis terhadap calon pemilih.

Namun, perlu diakui, survei bukanlah alat sempurna. Mereka bekerja dengan asumsi-asumsi ilmiah, seperti representasi sampel dan akurasi prediksi. Dalam praktiknya, variabel sosial-politik yang dinamis dan ketidakpastian pilihan publik sering kali mengintervensi hasil survei. Kasus kemenangan kotak kosong di Makassar menunjukkan bahwa survei gagal membaca dinamika sentimen massa yang kompleks, di mana suara rakyat justru bergerak sebagai bentuk resistensi terhadap elite politik.

Dalam konteks Pilgub Sulsel 2024, hasil survei yang dirilis oleh lembaga survei Indikator menunjukkan dominasi elektabilitas pasangan Andi Sudirman Sulaiman-Fatmawati Rusdi (Andalan Hati), dengan angka yang sangat tinggi, mencapai 64,2%, jauh di atas pasangan Danny Pomanto-Azhar Arsyad yang hanya memperoleh 24,2%.

Penurunan signifikan yang tercatat pada elektabilitas Danny Pomanto dalam survei ini memicu beragam perbincangan tentang peran lembaga survei dalam menggiring opini publik, terutama menjelang pemilihan yang semakin dekat.

Survei ini dilakukan pada 7 hingga 13 November 2024 dengan sampel 800 responden dan margin of error ±3,5%, sebuah angka yang cukup standar dalam dunia survei politik. Namun, di balik hasil tersebut, ada ketegangan yang mengemuka, terutama terkait dengan keakuratan dan peran lembaga survei dalam menentukan arah opini publik. Seringkali, hasil survei yang mengunggulkan pasangan tertentu, seperti Andalan Hati dalam kasus ini, dapat dianggap sebagai upaya pembentukan opini yang menguntungkan pihak tertentu, bukan hanya sekadar pencerminan keadaan sebenarnya di lapangan. Kecurigaan ini semakin menguat karena banyak pengalaman sebelumnya, seperti dalam Pilkada Makassar 2020, di mana Danny Pomanto sempat tertinggal dalam sejumlah survei namun justru berhasil memenangkan pemilihan.

Fenomena ini menambah pertanyaan mengenai apakah lembaga survei, dengan data yang mereka hasilkan, betul-betul mencerminkan suara rakyat secara objektif atau apakah ada faktor lain, seperti kepentingan politik atau ekonomi, yang mempengaruhi hasilnya. Dalam survei Pilgub Sulsel ini.

Dengan demikian, meskipun secara teknis hasil survei menunjukkan keunggulan yang signifikan bagi Andalan Hati, ketidakpastian tentang realitas politik di lapangan tetap menjadi hal yang perlu dicermati.

Penulis
Dr. Ibnu Hajar Yusuf, S.Sos.I, M.I.Kom
Dosen Komunikasi UIN Alauddin Makassar