BUDAYA | Maudu Lompoa adalah prosesi peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diisi dengan berbagai kegiatan keagamaan dan budaya suku Bugis. Secara etimologi Maudu Lompoa berasal dari bahasa Bugis yang artinya Maulid Besar.
Tradisi Maudu Lompoa ini dahulu dipelihara oleh keluarga Sayyid Al’-Aidid. Diperingati setiap tahun di desa Cikoang, Kecamatan Mangarabombang, Kabupaten Takalar dengan luas wilayah 566,51 km² dan penduduk ± 250.000 jiwa, berada provinsi Sulawesi Selatan.
Rangkaian kegiatan peringatan kelahiran Nabi Muhammad ini sudah berlangsung satu minggu sebelumnya. Masyarakat mempersiapakan segala kebutuhan mulai dari kapal kayu, kain sarung, aneka telur, kertas warna warni serta berbagai bahan makanan yang nanti akan disusun dan ditata dalam sebuah kapal kayu. Puncak acara peringatan kelahiran Nabi Muhammad inilah yang disebut Maudu Lompoa.
Puncak acara berpusat di sekitar sungai Cikoang. Aneka kapal berhias warna warni serta alunan musik tradisional saling bertabuh di sepanjang jalan desa Cikoang. Maudu Lompoa menjadi salah satu bukti meleburnya dua unsur yang berbeda, yaitu agama dan kebudayaan lokal yang membentuk sebuah tradisi budaya yang dipelihara dengan baik. Semua jenis lapisan masyarakat turut serta dengan suka cita dan antusias ikut bergabung bekerja dan bergotong-royong dalam merayakan tradisi Maudu Lompoa. Tradisi yang telah turun temurun berlangsung adalah sebagai bentuk ekspresi nyata masyarakat Kabupaten Takalar terhadap Nabi Muhammad SAW berserta keluarga Nabi
Acara maudu lompoa berakhir di sungai Cikoang dengan mandi bersama
Banyak hal menarik yang bisa kita saksikan pada tradisi Maudu Lompoa yaitu kapal kayu yang disebut julung-julung oleh masyarakat takalar akan dihias semenarik mungkin. Di dalam kapal yang dihias tersebut akan diisi dengan berbagai macam bahan pokok antara lain yang paling banyak ditemukan adalah telur yang diwarnai aneka warna hingga tampil mencolok dan meriah, dihias juga dengan hasil bumi berupa padi, ubi, sayur dan buah-buahan dari wilayah sekitar Kabupaten Takalar. Selain telur dan hasil bumi. Segala keperluan dan perlengkapan yang disiapkan di julung-julung merupakan simbolisasi ajaran Islam dahulu masuk ke wilayah desa Cikoang dibawa oleh jalur perdagangan.
Pengaruh ajaran Hindu yaitu aneka sesaji melengkapi setiap julung-julung seperti bakul besar yang terbuat dari anyaman daun lontar, masyarakat setempat menyebutnya dengan Baku Maudu. Bakul besar diisi dengan nasi setengah matang dilengkapi juga dengan lauk ayam kampung. Julung-julung ini nantinya akan dikumpulkan di sebuah titik yang telah ditentukan disekitar sungai Cikoang. Keseruan masyarakat mengangkat julung-julung adalah pemandangan unik yang bisa disaksikan. Karena sangat terlihat bentuk kentalnya gotong-royong yang terjalin pada masyarakat, dari menghias, mempersiapkan, menggotong, hingga tiba di sungai Cikoang.
Sebelum puncak acara mandi bersama di sungai Cikoang, sebelumnya diisi pula dengan pembacaan syair-syair atau shalawat pada Nabi Muhammad SAW yang biasa di sebut Rate’, serta atraksi Mapanca’ yaitu atraksi pencak silat oleh para tetua dan muda-muda kabupaten Takalar dan sekitarnya.
Sejarah
Pada abad ke 16 seorang tokoh keturunan Nabi Muhammad SAW ke 27, beliau juga cucu dari Sultan Iskandar Muda Mahkota Alam di Aceh, yang memiliki garis keturunan dari Arab Handramaut di Arab Selatan beliau adalah Sayyid Djalaluddin bin Muhammad Wahid Al’ Aidid tiba di kerajaan Goa. Saat itu masa pemerintahan kerajaan Goa yang dipimpin oleh Sultan Alauddin. Berjalan waktu Sayyid Djalaluddin Al’ Aidid diangkat menjadi Mufti kerajaan oleh Sultan Alauddin dan diberi nama Muhammad al-Baqir I Mallombassi Karaeng Bontomangape Sultan Hasanuddin.
Kemudian beliau menikahi seorang puri bangsawan Kerajaan Gowa bernama I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin. Namun beliau tidak mendapatkan tanggapan yang baik dari Sombaya di Gowa disebabkan kurang jelasnya jalur keturunan Sayyid Djalaluddin Al’Aidid. Akhirnya Sayyid Djalaluddin Al’Aidid pamit pada Sombaya di Gowa dan kemudian menitipkan istrinya ara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin di Balla Lompoa, Gowa.
Pada suatu saat ara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin meninggalkan Balla Lompoa dengan berbekal sehelai sajadah sebagai kendaraan pribadinya dan sebuah tempat air wudhu (cerek) menemaninya. Tidak memerlukan waktu yang lama Sayyid Djalaluddin Al’Aidid tiba disebelah utara pulau Tanakeke, dilanjutkan ke sebelah utara Sungai Bontolanra, Parappa, Sanrobone, dan Sungai Maccinibaji.[4]
Pada saat yang sama di sebelah utara hulu sungai yaitu muara sungai Cikoang, I Bunrang (kesatria Cikoang) memasang kuala. Lalu, di sebelah selatan hulu sungai, I Danda (kesatria Cikoang) juga memasang kuala. Esoknya, I Danda dan I Bunrang melihat sebuah benda berbentuk kapal laut besar lewat di sebelah utara Tompo’tanah, kemudian kapal besar tersebut berubah bentuk menjadi sebuah benda yang mengeluarkan cahaya. Kedua kesatria Cikoang itu bergegas mendayung perahu mereka mendekat, keduanya kemudian tercengang ternyata benda bercahaya itu adalah wujud seorang manusiaduduk bersila menggenakan baju jubah di atas sajadah dengan sebuah cerek untuk air wudhu, dialah di Sayyid Djalaluddin Al’Aidid. Akhirnya Sayyid Djalaluddin Al’Aidid diajak ke perahu I Danda dan I Bunrang menuju tepi sungai Cikoang dan bekerja mereka akhirnya menjadikan I Danda dan I Bunrang bekerja mengabdi pada Sayyid Djalaluddin Al’Aidid. Sejalan waktu Sayyid Djalaluddin Al’Aidid mengutus I Danda dan I Bunrang menjemput istri tercintanya yaitu I Acara’ Daeng Tamami Binti Sultan Abdul Kadir Alauddin di Balla Lompoa Gowa. Akhirnya Sayyid Djalaluddin Al’Aidid menetap di Cikoang dan memimpin jamaah masyarakat desa Cikoang. Tradisi Mandi Syafar mulai dilakukan pertama kali oleh Sayyid Djalaluddin Al’Aidid pada 10 Syafar 1025 H yaitu saat memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad yang jatuh pada tanggal al 1025 Hijriah atau 11 November 1605 Masehi[5]
Persiapan acara
Warga sedang mempersiapkan hiasan telur untuk acara maudu lompoa
Pelaksanaan perayaan Maudu Lompoa memerlukan persiapan 40 hari sebelum acara puncak. Persiapan diawali dengan jene-jene Sappara (mandi pada bulan Syafar) oleh masyarakat Cikoang yang dipimpin sesepuh atau guru adat. Selanjutnya, mempersiapkan ayam kampung yang akan dihidangkan pada puncak acara, yang harus dikurung selama 40 hari di tempat bersih dan diberi makan beras bagus.Pada saat yang sama, masyarakat juga mulai melakukan prosesi angnganang baku yaitu membuat bakul sesaji dari daun lontar. Selanjutnya, masyarakat menjemur padi dalam lingkaran pagar, dilanjutkan adengka ase, yakni menumbuk padi dengan lesung. Setelah itu, warga setempat mengupas kelapa utuh yang ditanam sendiri