Karaeng Pattingalloang adalah seorang bangsawan Kerajaan Tallo yang saat itu menjabat sebagai Perdana Menteri dipemerintahan Sultan Kesultanan Gowa ke-15 yaitu Sultan Malikussaid. Dengan nama lengkap, I Mangangada’-cina I Daeng I Ba’le Karaeng Pattingalloang Sultan Mahmud Tumenanga ri Bontobiraeng.
Karaeng Pattingalloang adalah seorang saudagar dan ahli hukum. Karaeng Pattingalloang merupakan ahli bahasa yang menguasai Bahasa Belanda, Bahasa Denmark, Bahasa Spanyol dan Bahasa Tionghoa.
Putra Raja Tallo VII Karaeng Matowaya (1573-1636) dengan Iwara (putri sulung Raja Gowa XII Tunijallo: 1565-1590), sejak remaja sangat haus akan pengetahuan. Sejak usia delapan belas tahun, dia meminta orang-orang Inggris untuk mengirimkan kepadanya penemuan-penemuan terbaru teknologi perkapalan Eropa (Reid, 2004). Karena talenta kepemimpinan dan pengetahuan yang luas, Pattingalloang muda sudah diberikan tanggung jawab untuk mengurus daerah Ujung Tanah di Makassar. Jabatan itu ia emban sebelum menjadi raja Tallo.
Barulah pada usia 39 tahun, dia dilantik menjadi raja Tallo yang sekaligus menjabat sebagai perdana menteri Kesultanan Gowa mendampingi Sultan Malikussaid (1639-1659). Begitu penting posisi tokoh ini sebagai calon pemimpin kesultanan kembar Gowa-Tallo sehingga dalam lontara Gowa disebutkan bahwa “aku [Sultan Malikussaid] hanya mau menjadi raja bila Tumenanga ri Bontobiraeng [Pattingalloang] mendampingi saya memerintah, dan bila dia juga memimpin semua rakyat banyak” (Wolhoff & Abdurrahim, 1956).
Pattingalloang sangat dikenal oleh orang-orang Eropa dibandingkan dengan raja-raja lain sezamannya. Dalam sumber asing, dirinya bahkan memiliki julukan Bapak Makassar. Hal ini terjadi bukan hanya karena dirinya merupakan raja yang selalu berinteraksi dan sangat baik kepada semua orang asing yang datang di negerinya, tetapi terutama karena semangat belajarnya yang luar biasa dalam mempelajari ilmu pengetahuan Eropa, sesuatu yang tidak lazim ditemukan di kalangan raja-raja Nusantara pada masanya.
“Dia memiliki gairah pada semua cabang ilmu, yang dipelajarinya siang dan malam” tulis misionaris Katolik, Alexander de Rhodes, yang bertemu Pattingalloang di Makassar pada tahun 1646. “Pattingalloang sangat bijaksana dan mengetahui semua misteri kita. Dia membaca semua kronik raja-raja di Eropa. Di tangannya selalu ada buku-buku kita, terutama mengenai ilmu pasti. Setiap kali diajak bercerita mengenai agama, dia selalu mengalihkan topik pembicaraan pada soal pengetahuan. Dia minta untuk diajarkan semua rahasia ilmu pengetahuan kita,” ungkap Rhodes (Reid, 2004).
Berbagai hal untuk memiliki peranti pengetahuan pun dilakukan oleh Pattingalloang, di mana pada tahun 1644 dia mengirimkan sebelas bahar kayu cendana senilai 660 real menuju Batavia untuk diteruskan ke Belanda sebagai alat pembayaran. Peranti pengetahuan yang dimaksud adalah dua bola dunia (keliling 157-160 inci), sebuah peta dunia besar yang keterangannya ditulis dalam bahasa Spanyol, Portugis atau Latin, sebuah atlas dunia, dua buah teropong berkualitas terbaik dengan tabung logam ringan, duabelas prisma segitiga, tiga sampai empat puluh tongkat baja kecil, dan sebuah bola tembaga atau baja (Lombard, 2005).
Empat tahun kemudian (1648), bola dunia yang dipesannya dari Belanda tiba di Makassar, sedangkan bola dunia raksasa buatan Joan Bleau baru tiba di awal tahun 1651. Hal ini pulalah yang membuat nama Pattingalloang semakin menarik perhatian ilmuwan Eropa sehingga wajahnya dilukis dalam Atlas Maioa karya Bleau di sisi kanan atas, sejajar dengan lukisan pembuatnya di sisi kiri atas.
Penyair terbesar Belanda abad itu, Joost van den Vondel, pun menulis beberapa lirik syair khusus yang dikirimkan kepada Pattingalloang yang sekaligus menyertai kedatangan sebuah bola dunia dua raksasa yang indah.
Ketenaran Pattingalloang pun membuat berbagai pelancong dibuat terkagum-kagum olehnya. Seorang pastor dari Spanyol, Domingo Fernandes de Navarette, yang pernah tinggal di Makassar pada medio 1657-1658, begitu kagum melihat koleksi perpustakaan besar Pattingalloang yang dilengkapi dengan jam lonceng yang sangat bagus.
Lebih setengah abad kemudian misionaris Belanda, Francois Valentijn, tiba di Makassar dan turut memberi testimoni untuk tokoh Makassar yang memukau ini. Menurutnya, Pattingalloang menguasai berbagai bahasa termasuk bahasa Latin. Dia juga adalah pemimpin utama dalam semua urusan Makassar. Hal ini juga berdampak pada hubungan Makassar dengan Belanda terjalin baik selama ia mendampingi Sultan Gowa selama 1639-1659, Malikussaid (Valentijn, 1726).
Kalau mencermati kondisi umum Nusantara pada masa itu, maka apa dilakukan oleh Karaeng Pattingalloang merupakan pencapaian yang luar biasa. Di antara kunci sukses Pattingalloang mengakses sumber-sumber pengetahuan Barat ialah kemampuannya dalam bahasa asing. Seperti ayahnya, Karaeng Matowaya (raja Tallo dan mangkubumi Gowa), dia juga begitu fasih berbahasa Portugis. Bila orang mendengar dia berbicara dalam bahasa Portugis tanpa melihatnya secara langsung, maka orang lain akan mengira bahwa Pattinggaloang memang berasal dari Lisbon.
Melalui kecakapan bahasa Portugisnya, hal ini digunakan Karaeng Pattingalloang untuk berkorespodensi dengan orang-orang Portugis di Malaka maupun Macau. Kemampuan bahasanya diwariskan kepada putranya, Karaeng Karunrung, yang mendampingi Sultan Hasanuddin (1659-1669).
Museum Karaeng Pattingalloang
Museum Karaeng Pattingalloang dapat dicapai melalui Bandar Udara Sultan Hasanuddin sejauh 26,3 km, dari Terminal Cappa Bunga sejauh 8,9 km, atau dari Pelabuhan Soekarno Hatta sejauh 10,7 km.
Museum Karaeng Pattingalloang dibangun untuk mengenang riwayat hidup Karaeng Pattingalloang. Museum ini mulai dibangun sejak tahun 1989 dan selesai pada tahun 1995. Museum ini berada di sekitar Benteng Somba Opu, Barombong, Gowa.
Ratusan koleksi yang dipamerkan dalam museum berupa mata uang, keramik, peninggalan budaya, teknologi, seni rupa, dan sejarah.
Dalam Museum Karaeng Pattingalloang terdapat 14 batu bata polos dengan ukuran yang beragam. Panjangnya berkisar antara 23 hingga 31 cm dengan lebar antara 13 hingga 18,5 cm dan tebalnya antara 2,5 hingga 5 cm. Batu bata ini diperolah dari hasil ekskavasi Benteng Somba Opu dan digunakan sebagai media pembelajaran bagi masyarakat terhadap warisan budaya dan identitas bangsa.(*)
Dikutip dari berbagai sumber