LPG 3Kg Langka dan Harga ‘Mencekik’ kuat Dugaan ada Mafia Gas

BERANDANEWS – Parigi, Bagi warga Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, tabung gas LPG 3 kilogram kini menjadi barang “mewah” karena kelangkaannya.

Harga di pasaran melambung tinggi, bahkan ada yang menjual hingga Rp50 ribu per tabung. Padahal, seharusnya harga eceran tertinggi (HET) ditetapkan pemerintah hanya Rp18.000.

Gas melon bersubsidi yang sejatinya ditujukan untuk masyarakat kecil justru dikuasai oleh jaringan permainan harga.

Di lapangan, praktik mafia gas berjalan rapi, melibatkan oknum pangkalan hingga pengecer.

Kelangkaan dan tingginya harga membuat masyarakat terpaksa membeli gas dengan harga tidak menentu. Kadang Rp35 ribu per tabung, bahkan bisa menembus Rp50 ribu jika sedang langka.

Kepala Dinas (Kadis) Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Kabupaten Parigi Moutong, Fit, S.STP., M.AP., saat ditemui di ruang kerjanya pada (21/8) lalu, mengatakan bahwa pihaknya telah berupaya menekan para pengecer, pangkalan, dan agen resmi agar tidak melakukan penjualan di atas harga HET yang telah ditentukan pemerintah.

Selain itu, sambung Fit, pihaknya telah melaksanakan rapat dengan tim satgas dari Bidang Pengawasan Konsumen, serta mengundang semua agen yang ada di Kabupaten Parigi Moutong.

Dalam rapat yang digelar Dinas Perindag itu, melibatkan tim satgas dari Bagian Ekonomi Sekretariat Daerah Kabupaten Parigi Moutong.

“Pangkalan tidak lagi menjual di atas harga HET. Evaluasi dan sidak maupun rapat yang kami lakukan merupakan upaya pencegahan dan penekanan untuk menindak para pelanggar ke depannya,” kata Fit.

Namun Tim Satgas ini tidak dibenarkan mengambil langkah penegasan sebelum melakukan koordinasi sebelumnya.

Menurutnya, pihaknya menjamin enam (6) agen resmi yang ada di Kabupaten Parigi Moutong menjual dengan harga HET Rp18.000 per tabung 3 kg.

Namun, di lapangan ternyata masih terjadi kelangkaan yang membuat lonjakan harga per tabung (3 kg), bahkan bisa menembus harga Rp50 ribu.

Di lain pihak, Andi Baso Tenriliwong, wakil ketua LSM LP-KPK yang turut serta melakukan penelusuran di wilayah Parigi Moutong, mengungkapkan mengenai sanksi penyalahgunaan LPG 3 kg dalam Pasal 13 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga Liquefied Petroleum Gas Tabung 3 Kilogram (“Perpres 104/2007”).

Dalam aturan itu diatur bahwa badan usaha dan masyarakat dilarang melakukan penimbunan, penyimpanan, serta penggunaan LPG tabung 3 kg untuk rumah tangga dan usaha mikro yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan usaha dan masyarakat yang melakukan pelanggaran atas ketentuan tersebut dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

“Sanksi tersebut berkaitan dengan Pasal 40 angka 9 Undang-Undang Cipta Kerja yang mengubah Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (“UU Minyak dan Gas Bumi”), yang berbunyi: Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan/atau liquefied petroleum gas yang disubsidi pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama enam (6) tahun dan denda paling tinggi Rp60 miliar,” ungkap Andi Baso Tenriliwong.

Lebih lanjut, Andi Baso menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan menyalahgunakan adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh keuntungan perseorangan atau badan usaha dengan cara yang merugikan kepentingan masyarakat banyak dan negara, termasuk di antaranya penyimpangan alokasi.

“Sehingga, bagi badan usaha dan masyarakat yang menyalahgunakan LPG 3 kg bersubsidi dapat dijerat dengan ketentuan pidana di atas apabila unsur-unsur tindak pidana dalam pasal tersebut terpenuhi,” urai Andi Baso.

Andi Baso berharap agar Forkopimda Kabupaten Parigi Moutong lebih serius menangani persoalan ini dan menindak semua pelaku dan yang terlibat sesuai hukum yang berlaku tanpa tebang pilih.

Andi Baso juga mengingatkan agar jangan sampai ada oknum dari Pemda Parimo ataupun dari APH yang terlibat, termasuk adanya pembiaran hingga hal ini berlarut-larut. Pihaknya akan melaporkan persoalan ini ke pemerintah pusat. (*)