Kota Makassar: 418 Tahun dan Tantangan Perang Kelompok

OPINI – Setiap Tanggal 9 November, Kota Makassar memperingati hari jadinya, berdasarkan keputusan yang tertuang dalam Perda Kota Makassar No.1 Tahun 2000 yaitu tanggal 9 November 1607.

Sayangnya, di balik perayaan dan narasi kemajuan, terdapat tantangan yang serius: konflik antarkelompokatau yang sering disebut “perang kelompok” masih mewarnai beberapa wilayah di Makassar.

Di kawasan Kecamatan Tallo, terdapat bentrokan antar­kelompok warga yang terjadi secara berulang, termasuk penggunaan anak panah, pembakaran kendaraan, hingga korban luka serius.

Pemerintah kota dan pihak keamanan menyadari bahwa ini bukan sekadar masalah kriminal biasa.

Kami menyebut bahwa akar permasalahan bukan hanya soal hukum-kriminal, tetapi juga soal sosial, pendidikan, ekonomi, dan bagaimana generasi muda diposisikan dalam masyarakat.

Peringatan hari jadi kota seringkali menjadi momen refleksi: kota mana yang kita cita-cita, bagaimana kondisi warganya, sejauh mana pembangunan menyejahterakan semua.

Dalam konteks Makassar yang sudah berusia 418 tahun, di bagian kota kita masih menemukan konflik kelompok yang merusak rasa aman, terjalinnya kebersamaan ini menjadi tantangan nyata. Perayaan besar tak cukup bila sebagian warga dalam kondisi terancam atau terpinggirkan.

Kota tidak hanya soal infrastruktur, gedung, atau ekonomi semata, namun tentang kualitas hidup rasa aman, persatuan sosial, kesempatan bagi muda-mudi, ruang kreatif, dan keadilan.

Konflik yang terus muncul menunjukkan bahwa aspek “pembangunan manusia” terkadang tertinggal. Opini bahwa “kota besar diukur dari kemampuannya merangkul pemuda” sangat relevan.

Di hari jadinya ke-418 tahun, Kota Makassar bisa dijadikan momentum strategis untuk memperkuat jaringan sosial, dialog antar-komunitas, pemberdayaan pemuda, dan penciptaan ruang alternatif: olahraga, seni, komunitas budaya sebagai sarana pengikat. Bila perayaan semata-mata hiburan tanpa konten rekonsiliasi sosial, maka potensi konflik tetap mengintai.

Kemudian pentingnya peran dan Tanggung Jawab Bersama antara Pemerintah, Masyarakat, dan Komunitas.

Dalam hal pengentasan konflik kelompok butuh kolaborasi: aparat keamanan, tokoh masyarakat, pemuda lokal, organisasi sosial. Maka perayaan kota bukan hanya acara tahunan tapi akar pembangunan sosial terus-menerus.

Dampak Negatif dari Konflik antar Kelompok Masyarakat
Perang kelompok yang berkelanjutan dan berkepanjangan akan melahirkan patologi sosial (kerusakan fungsi masyarakat) yang sangat serius, yang pada akhirnya akan merusak siklus kehidupan sosial warga kota secara menyeluruh.

Munculnya Patologi Sosial Akibat Konflik Berkepanjangan yang merujuk pada segala kondisi atau perilaku yang dianggap abnormal dan merusak fungsi serta integrasi masyarakat. Dalam konteks perang kelompok di Makassar, beberapa bentuk kerusakannya meliputi:
​1. Kerusakan Psikologis dan Kesehatan Mental
​Trauma Kolektif: Warga, terutama anak-anak dan remaja, akan hidup dalam kondisi kecemasan dan ketakutan yang konstan (Post-Traumatic Stress).
​Kekerasan Dinormalisasi: Kekerasan, busur, dan tawuran dianggap sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari (normalisasi deviasi), sehingga menurunkan sensitivitas terhadap nilai kemanusiaan dan perdamaian.

​2. Kerusakan Siklus Ekonomi dan Produktivitas
​Hambatan Beraktivitas: Warga tidak aman dan nyaman untuk bekerja, mencari nafkah, atau berdagang, terutama di malam hari atau di lokasi rawan konflik.
​Penyusutan Investasi: Konflik yang terus-menerus membuat wilayah tersebut dicap tidak kondusif, menghambat investasi lokal dan pendatang, yang memperburuk kondisi ekonomi warga.

​3. Kerusakan Institusi Sosial (Disintegrasi Sosial)
​Pelemahan Lembaga Komunitas: Peran RT/RW, tokoh masyarakat, dan tokoh adat menjadi lemah karena mereka tidak mampu meredam konflik atau karena mereka sendiri terpecah belah.

​Hilangnya Kepercayaan: Menurunnya kepercayaan warga terhadap aparat keamanan dan pemerintah daerah karena dianggap lambat atau tidak efektif dalam memberikan jaminan keamanan.

​4. Kerusakan Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)
​Putus Sekolah: Anak-anak rentan putus sekolah karena lokasi sekolah berada di zona konflik atau karena mereka direkrut untuk terlibat dalam kelompok.
​Generasi Perenggut: Munculnya generasi yang tumbuh dengan keterampilan konflik (menggunakan busur, berkelahi) alih-alih keterampilan produktif, yang menyulitkan mereka masuk ke dunia kerja formal.

Jika semua pihak pemerintah, masyarakat, komunitas mampu menjadikan perayaan ini sebagai momentum rekonsiliasi sosial dan penguatan kapasitas pemuda, maka Makassar ke depan bisa tidak hanya bertahan sebagai kota besar, tetapi tumbuh sebagai kota “bersama” bagi seluruh warganya.

Penulis
Dr. Ibnu Hajar Yusuf, M.I.Kom
Ketua Umum Pemoeda Perti Sulsel