Kewajiban Ibadah Bagi Manusia
Manusia adalah salah satu dari makhluk Allah swt. di samping memiliki sejumlah kekurangan, manusia memiliki suatu kelebihan, berupa potensi berkembang, potensi membangun peradaban dan kebudayaannya, karena padanya ia dianugerahi “akal.” Manusia diciptakan oleh Allah swt. sebagai ‘abid’ dan sebagai khalifah- Nya di atas bumi. Sebagai ‘abid’, manusia diharuskan untuk tunduk dan patuh hanya kepada Allah swt., mengandung arti bahwa keseluruhan jiwa dan aktifitas manusia haruslah sejalan dengan izin dan perintah Allah swt.
Sebagai khalifah Allah, manusia memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi kepemimpinan, yaitu Jabatan Formal dan Fungsi Kepribadian Muslim. Bagi yang mendapat amanah Jabatan Formal, ia harus menjalankan amanah Allah dalam wujud merealisasikan hukum-hukum Allah, menerapkan keadilan, kebenaran dan melindungi seluruh masyarakat dan wilayah yang dipimpinnya.
Fungsi Kepribadian Muslim mewajibkan seluruh muslim tak terkecuali untuk menjaga melestarikan dan mengembangkan kemakmuran di bumi sebagai hajat hidup bagi semua. Kealpaan menjalankan fungsi-fungsi tersebut berarti kealpaan dalam menunaikan amanah Allah di atas bumi, yang sesungguhnya amanah tersebut adalah amanah terpokok yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam hidup manusia.
Dalam literatur dakwah Islamiyah, secara umum ditegaskan bahwa tujuan keberadaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Manusia sesungguhnya adalah “Ibadullah.”
Kata atau term Ibadullah sudah umum dimaknakan dengan “beribadah” kepada Allah. Secara lebih spesifik, pemaknaan ibadullah ini diartikan sebagai ketundukpatuhan sang hamba kepada Allah swt., sekurang-kurangnya sebagaimana terakumulasi pada enam rukun iman dan lima rukun Islam. Di sisi lain, ada pernyataan tugas manusia, yakni sebagai “khalifah” Kata atau istilah.
“Khalifah” bila dikaitkan dengan sejarah umat Islam, sudah pasti merujuk kepada model pemerintahan, tepatnya kepala pemerintahan Islam di awalawal pertumbuhannya pasca wafatnya Rasulullah saw.1 Secara umum, dikenal pemerintahan Khilafah Rasyidah dengan empat tokoh, masing-masing: Abu Bakar al-Shiddieq, Umar bin al-Khattab, Utsman bin al-Affan dan Ali bin Abi Thalib
Dewasa ini, ketidakmampuan berbagai negara Islam menjadikan Islam sebagai simbol sekaligus sebagai hukum positif, oleh sejumlah kalangan disebut sebagai penyebab bagi ketidakmampuan para politisi muslim membumikan kemakmuran di bumi Allah swt., justru dituding sebagai biang keladi terjadinya seribu satu praktek-praktek politik yang membuat bangsa dan negara tetap terbelakang, permusuhan yang berkepanjangan dan ujung-ujungnya, rakyatlah yang menderita. Sudah pasti, bahwa para pegiat khilafah mendakwahkan wajibnya umat ini kembali kepada sistem “Khilafah Rasyidah” sebagai satu-satunya alternatif untuk mengembalikan kejayaan Islam dan umat Islam di muka Bumi Allah swt ini.
Dalam kajian Pemikiran Islam Modern, kata atau istilah “khalifah” dimaknai jauh lebih luas dibanding dengan sekedar memaknainya sebagai model atau bentuk pemerintahan sebagaimana yang dikemukakan di atas. Hal ini erat kaitannya dengan dwifungsi manusia di bumi ini menurut Alquran, yakni sebagai “abid” dan sebagai “khalifah” Allah di atas bumi ini. Tulisan ini akan mengkaji dua pertanyaan pokok, yakni bagaimana kedudukan sekaligus tugas manusia sebagai khalifah dan apa konsekuensi dari kealpaan manusia menunaikan tugas tersebut.
Seperti tertera pada judul, kajian ini bersifat teologis dengan titik berat pembahasan dari sudut pandang lingkungan hidup. Untuk mendapatkan bahan yang selanjutnya dikumpulkan, dianalisis dan disajikan secara deskriptif kualitatif, penulis akan merujuk ke naskah-naskah literatur, baik yang berbentuk teks maupun yang didapatkan melalui media online