BERANDANEWS – Bogor, Sebanyak 160 peserta mengikuti Bimbingan Teknis (Bimtek) Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Tahun 2024 bagi Tim Hukum Partai Politik Angkatan II untuk Dinamika Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2024.
Peserta merupakan perwakilan dari Partai Nasional Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, Partai Darul Aceh, dan Partai Aceh.
Bimtek dilaksanakan selama empat hari mulai Senin hingga Kamis besok (30 September–3 Oktober 2024) di Pusdik MK, Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Dihari kedua Bimtek yang diselenggarakan pada Selasa (1/10), Kepala Biro Hukum Administrasi dan Kepaniteraan MK Fajar Laksono dan para peserta membahas Dinamika Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota Tahun 2024.
Fajar menyebutkan bahwa apabila produk politik demokrasi yang dihasilkan oleh pembuat undang-undang tidak sejalan dengan konstitusi, maka MK akan sangat mungkin menyatakannya inkonstitusional. Hal itu selaras dengan keberadaan MK sebagai pemegang mandat konstitusional yang kewenangannya tertuang dalam UUD 1945. Oleh karenanya, MK berwenang untuk melakukan pengujian undang-undang. Sepanjang perjalanan MK dari 2003 hingga 2024, pada pelaksanaan kewenangan pengujian undang-undang ini diakui Fajar bahwa hukum acaranya turut berkembang seiring praktik hukum di MK.
Selanjutnya berkaitan dengan hak konstitusional warga negara, awalnya MK hanya berwenang untuk menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Kemudian seiring dengan perjalanan regulasinya, MK kemudian diberi kewenangan menyelesaikan perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah (PHP Kada). Hal ini tertuang dalam Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 yang menyatakan MK dapat memutus Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota.
“Sebelumnya pada 2008 hingga 2010 hampir setiap hari MK menangani perselisihan perkara pilkada, MK harus menghadapi Pemohon yang mengajukan permohonan dan saksi-saksi yang berlangsung hingga 2013. Kemudian muncul suara-suara kritis yang melihat adanya penurunan kualitas pengujian undang-undang yang menjadi kewenangan fitrah MK yang berakibat pada kurangnya bobot kualitas putusannya. Pada 2013, MK dalam Putusan 97/PUU-XI/2013 sempat mendeklarasikan tidak lagi berwenang menyelesaikan perkara pilkada karena pilkada bukan termasuk rezim pemilu. Namun perjalanan regulasi ini yang kemudian dalan Putusan Nomor 85/PUU-XX/2022 menyatakan pilkada merupakan bagian dari rezim pemilu sehingga menjadi kewenangan MK untuk menyelesaikan perkaranya,” ujar Fajar dikutip dari https://www.mkri.id/, Selasa (1/10/2024).
Terkait dengan kewenangan MK menangani perkara PHPKada ini, Fajar menjabarkan beberapa dalil permohonan yang sering muncul. Di antaranya soal penggelembungan suara, pengurangan suara, sistem noken, kriminalisasi calon, tidak terdapatnya pemilihan di beberapa tempat, intimidasi dan mobilisasi pemilih, dan lainnya. “Seperti persoalan intimidasi ini umumnya terungkap saat persidangan,” jelas Fajar.
Sebagai infromasi, Para peserta akan diberikan sejumlah materi dari pemateri pilihan yang dihadirkan MK, di antaranya pada Sesi I akan dibahas tentang Hukum Acara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2024 yang akan disampaikan langsung oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur.
Pada Sesi II, para anggota parpol nasional dan daerah ini akan diberikan penjelasan terkait Mahkamah Konstitusi dan Dinamika Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2024. Selanjutnya padaSesi III, Tim TIK MK akan memperkenalkan Sistem Informasi Penanganan Perkara Elektronik yang akan digunakan anggota parpol sebagai alat utama dalam pengajuan perkara serta berbagai pemanfaatannya selama persidangan PHP Kada di MK.
Kemudian pada Sesi IV, Kepaniteraan MK akan menjelaskan seputar Mekanisme, Tahapan dan Jadwal Penanganan Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Tahun 2024.(*)