Demokrasi Indonesia, Pemilu bikin Malu

Ilustrasi

OPINI – Indonesia menganut sistem demokrasi, sistem ini menekankan prinsip pemerintahan oleh rakyat, untuk rakyat, dan dari rakyat. Artinya, setiap warga negara memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan politik, baik melalui pemilihan umum maupun melalui bentuk partisipasi lainnya.

Dominasi paham liberal membuat demokrasi gagal menghilangkan hierarki kelembagaan yang menindas, melahirkan pemerintah elitis, menghadirkan kesenjangan dan ketimpangan sosial, dan mengesampingkan mayoritas.

Pemerintahan pun dinilai hanya mengabdi pada kepentingan korporasi, kelompok atau partai dan kekuasaan hanya dipegang segelintir elite.

Penerapan Demokrasi seolah-olah hanya sebagai prosedur untuk memastikan sirkulasi kepemimpinan elite politik agar berjalan secara periodik atau rutinitas lima tahunan.

Selanjutnya Demokrasi dinilai gagal menghadirkan kemakmuran sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa terkecuali. Hal tersebut ditengarai dengan besarnya biaya untuk menerapkan sistem ini. Salah satunya pengeluaran biaya besar untuk menggelar pemilihan umum (pemilu) secara berkala.

Pemerintah tiap lima tahunnya harus mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan Pemilu, mulai dari pengadaan logistik, pencoblosan hingga waktu penetapan pemenang pemilu.

Pemilu yang digelar lima tahun sekali seolah-olah lebih menekankan pada kuantitas daripada kualitas. Dengan kata lain, dalam gelaran Pemilu atau pilkada sangat nampak banyak yang memanfaatkan momentum ini untuk menggunakan politik uang dan praktik bawah tangan agar terpilih.

Dari data didapatkan, Sejak awal Pemilu pada Era Reformasi tahun 1999, Pemerintah harus mengeluarkan Rp1,52 triliun. Kemudian pada Pemilu 2004 biayanya naik menjadi Rp4,45 triliun. Sementara tahun 2024 ini, pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp71,3 triliun untuk pelaksanaan Pemilu 2024.

Dan Pemilu 2024 merupakan pelaksanaan dengan anggaran pemilu terbesar dalam sejarah Indonesia, setidaknya sejak awal Era Reformasi tahun 1999.

Dari anggaran sebesar tersebut, mestinya, demokrasi bisa berjalan sesuai dengan harapan masyarakat, bukan hanya untuk memuaskan nafsu kekuasaan yang seolah olah menguntungkan kepentingan elite politik saja.

Produk Demokrasi seperti Pemilu yang sejak tahun 1955 hingga yang terakhir pemilu ke-13 pada tahun 2024, bahkan menimbulkan keresahan akan ketidakpuasan hingga mengancam stabilisasi nasional.

Pemilu yang dilaksanakan pun, terkesan menimbulkan keresahan, oleh karena adanya kecurangan-kecurangan setiap pelaksanaannya.

Penyebab masih terjadinya kecurangan dalam pemilu di Indonesia, bisa jadi dikarenakan karena adanya relasi yang kuat di antara para penyelenggara pemilu, peserta pemilu dan pemilih. Misalnya, setiap peserta pemilu agar terpilih, perlu untuk mengeksploitasi relasi personal, dengan melibatkan hal-hal material dan non-material sebagai bahan transaksi di antara para aktor tersebut. Sebagai contoh adanya pelibatan penyelenggara pemilu mulai dari tingkat KPU hingga PPS, yang memungkinkan melahirkan transaksi jual beli suara, atau transkasional vote dilapangan baik pada saat awal tahapan hingga perhitungan suara.

Selain itu, sistem pemilu juga mendorong peserta pemilu menghalalkan segala cara untuk menang, hal ini dikarenakan masih lemahnya sistem pendukung dalam pemilu kita yang dapat membuka celah terciptanya manipulasi suara. Manipulasi terjadi paling tidak pada dua hal, yakni data pemilih dan rekapitulasi penghitungan suara berjenjang.

Data pemilih dalam setiap pemilu kita selalu menjadi masalah serius karena data tidak pernah akurat. Sementara itu, rekapitulasi penghitungan berjenjang masih membuka peluang adanya kesalahan penghitungan dan berujung manipulasi hasil perolehan suara. Masih ada celah, misalnya, untuk mengubah angka penghitungan suara di tingkat TPS hingga kecamatan

Kecurangan dalam Pemilu yang bersifat sistematis yang belakangan santer diberitakan diberbagai platfom media dengan adanya keterlibatan lembaga-lembaga survei yang mengumumkan lebih dulu hasil pemilu mendahului keputusan lembaga penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU, mengakibatkan pengaruh psikologi atau keresahan bagi kontestan, apalagi yang kalah, sehingga berdampak pada pembentukan opini publik.

Peran KPU sebagai penyelenggara mestinya tegas dalam hasil hitung cepat ini, KPU harus cepat merespon dan memberikan pernyataan akan fungsinya yang berhak yang menentukan.

Belum lagi Aplikasi Sirekap Pemilu 2024 yang dikembangkan KPU yang kini masih ramai dibahas netizen di media sosial.

Berbagai kecurangan yang terjadi karena kesalahan sistem rekapitulasi suara yang direkam oleh aplikasi Sirekap Pemilu 2024. Dimana Data-data dari Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang direkam oleh aplikasi Sirekap kemudian dikirimkan untuk melakukan penghitungan suara.

Sebagai kesimpulan, penyelenggara, dalam hal ini KPU dan Bawaslu harus memaksimalkan keterbukaan data (open data) pemilu untuk mencegah kecurangan pada Pemilu. Keterbukaan data pemilu diharapkan, pertama, dapat meningkatkan transparansi dan akuntabilitas sehingga pemilu menjadi lebih berintegritas. Kemudian, dengan keterbukaan data pemilu maka mendorong peningkatan partisipasi masyarakat, termasuk dalam mengawasi dan melaporkan jika ada pelanggaran pemilu. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan ini sangat penting untuk mencegah kecurangan yang dilakukan oleh penyelenggara maupun peserta pemilu.

Sistem Demokrasi hanya memandang Rakyat sebagai alat untuk memenangkan kompetisi. Selesai memenangkan kompetisi ini maka akan berlanjut mengatur strategi memenangkan kompetisi yang lain. Dan akan terus berlanjut terus menerus.

Demokrasi yang diharapkan dapat menempatkan rakyat sebagai tujuan utama untuk kesejahteraan dan keadilan sosial bagi seluruh, namun nyatanya sebagai alat untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Jadi tidaklah mudah mengimplementasikan demokrasi di negara seluas ini. Banyaknya ketimpangan yang terjadi, bahkan sebagian besar yang berkuasa, mulai tingkat pemerintah pusat hingga pemerintah daerah seringkali terjerat hukum atau katakanlah kasus korupsi. Mereka-mereka adalah pilihan rakyat yang dipilih melalui sistem demokrasi yang lagi-lagi menggunakan anggaran yang tidak sedikit.

Salah satu yang menjadi kekurangan dari penerapan demokrasi, adalah begitu luasnya nilai “kebebasan” dalam Hal ini berkaitan dengan kehendak, kepentingan atau kekuasaan. Kontrol atas kebebesan tersebut memiliki standar yang tidak pasti, karena hukum dibuat atas kesepakatan mayoritas penguasa, bukan atas dasar keyakinan atau tuntunan agama atau budaya yang berlaku.

Lantas masihkah kita percaya pelaksanaan Pemilu di Indonesia akan sejalan dengan yang diharapkan rakyat indonesia?.

Penulis
Muhammad Ruslan, S.Sos
Direktur Utama PT. Beranda Digital Kreasi