Daeng Ical Soroti Kesenjangan Strategis dalam Pembangunan TNI

Anggota Komisi I DPR RI Syamsu Rizal (Dok)

BERANDANEWS – Makassar, Anggota Komisi I DPR RI Syamsu Rizal, yang akrab disapa Daeng Ical, menyoroti sejumlah persoalan strategis dalam pembangunan Tentara Nasional Indonesia (TNI), khususnya terkait kesenjangan antara kebijakan pusat dan kondisi di lapangan.

Dalam keterangannya Daeng Ical menekankan bahwa tugas strategis TNI dalam menjaga wilayah perbatasan dan terluar belum didukung oleh infrastruktur yang memadai.

“Yang paling dominan ini adalah, masih ada gap antara kebijakan strategis di TNI dan apa yang terjadi di lapangan. Ada beberapa hal yang paling utama, di antaranya adalah tugas strategis TNI itu menjaga daerah perbatasan, daerah terluar, ini belum didukung oleh infrastruktur yang cukup dan memadai,” ujarnya.

Sebagai contoh, di wilayah Komando Daerah Militer (Kodam) XV/Pattimura, terdapat sembilan pulau perbatasan, namun hanya tiga di antaranya yang memiliki pos dengan peralatan yang memadai. Enam pulau lainnya masih bergantung pada fasilitas sewa dari masyarakat setempat.

“Yang kedua adalah biaya penunjang operasional untuk proses pelatihan dan upgrading kemampuan dasar dari prajurit. Di antaranya, kemarin yang muncul dan sangat penting itu adalah peluru hampa yang masih sangat kurang. Yang disetujui atau yang bisa dipenuhi itu baru sekitar 10 persen, dan ini menjadi tanda bahwa memang masih banyak hal yang penting untuk kita benahi,” pungkasnya usai mengikuti Kunjungan Spesifik Komisi I DPR RI ke Kodam XV/Pattimura, Ambon, Maluku.

Daeng Ical menilai kondisi tersebut menunjukkan perlunya pembenahan serius dalam alokasi anggaran pertahanan. Saat ini, anggaran pertahanan Indonesia baru mencapai 0,7–0,8 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), sedangkan idealnya minimal 1 persen dan optimalnya 1,5 persen. Kekurangan anggaran ini berdampak pada berbagai aspek, termasuk minimnya ketersediaan peluru hampa untuk pelatihan prajurit.

Tak hanya itu, politisi Fraksi PKB tersebut juga menanggapi wacana penambahan posisi Wakil Panglima TNI. Menurutnya, jabatan tersebut sebaiknya hanya diadakan apabila benar-benar dibutuhkan.

“Sebenarnya Wakil Panglima, pada prinsipnya menurut hemat kami, kalau TNI membutuhkan atau Panglima membutuhkan, baru diadakan. Karena itu tidak wajib. Ada beberapa jabatan yang bisa meng-cover tugas-tugas dari seorang Panglima, ada Kasum misalnya atau ada entitas yang lain. Tetapi kalau dianggap penting, itu boleh-boleh saja. Tapi saran kita adalah jangan terkesan hanya sekadar untuk bagi-bagi bintang lah,” jelasnya.

Lebih lanjut, Daeng Ical juga menyoroti pentingnya reformasi dalam sistem rekrutmen TNI. Ia menyarankan agar ke depan, rekrutmen dilakukan berdasarkan kebutuhan organisasi dan kualifikasi teknis tertentu, seperti dokter, ahli siber, dan bidang strategis lainnya.

“Paling penting itu adalah sumber rekrutmennya. Rekrutmen awal ke depan, kita berharap TNI itu menyusun formasi berdasarkan kebutuhan organisasi, kebutuhan teknis misalnya, sehingga ke depannya nanti rekrutmennya itu bukan hanya sekadar calon-calon prajurit secara umum, tetapi sudah langsung ada kualifikasi teknis yang dibutuhkan,” tuturnya.

Dengan berbagai temuan tersebut, ia menegaskan perlunya evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan strategis TNI, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur di wilayah perbatasan, alokasi anggaran, struktur organisasi, serta sistem rekrutmen. Langkah-langkah tersebut dinilai krusial agar TNI dapat menjalankan tugasnya secara optimal dalam menjaga kedaulatan dan keamanan negara.(*)