Budaya dan Tradisi Unik Suku Toraja

Upacara pemakaman dalam masyarakat Toraja atau Rambu Solo. (Foto:lifepal.co.id)

BUDAYA | Kebudayaan Suku Toraja Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah norma budaya tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, kebanyakan dihadiri oleh ratusan orang dan berlaku selama beberapa hari.

Beberapa masyarakat Suku Toraja masih menganut kepercayaan Aluk To Dolo. Itu merupakan agama/aturan dari leluhur yang diturunkan dari generasi ke generasi oleh Sang Pencipta yakni Puang Matua. Dalam kepercayaan ini manusia diwajibkan menyembah, memuja, dan memuliakan Puang Matua dengan melakukan ritual, antara lain sajian, persembahan, dan upacara-upacara. Biasanya suku Toraja memberikan babi ataupun ayam sebagai persembahan kepada para Dewata atau Dewa sebagai pemelihara utusan Puang Matua. Upacara-upacara adat lain yang sering dilakukan oleh Suku Toraja ialah rambu solo yang merupakan upacara adat pemakaman dan rambu tuka yang merupakan upacara untuk merenovasi rumah adat.

Ada dua jenis rumah adat (banua) yang dikenal masyarakat Toraja, yaitu banua tongkonan dan banua barung-barung. Banua tongkonan adalah rumah adat keluarga suku Toraja. Rumah adat ini berbentuk panggung dengan atap melengkung seperti perahu. Sementara itu, banua barung-barung adalah rumah pribadi setiap orang Toraja.

Bentuk banua barung-barung tidak terikat seperti banua tongkonan. Namun, ada juga orang yang membangun rumah pribadi dengan bentuk seperti tongkonan. Walaupun bentuknya sama, rumah tersebut tidak dapat dikatakan sebagai tongkonan. Istilah tongkonan berasal dari kata tongkon yang artinya menduduki atau tempat duduk. Sementara ma’ tongkon berarti duduk berkumpul. Dari sinilah muncul kata tongkonan yang merupakan tempat tinggal penguasa adat sebagai tempat berkumpul.

Tongkonan terbentuk berdasarkan hubungan kekerabatan atau keturunan. Awalnya, sepasang suami istri membangun rumah sendiri atau bersama anak dan cucunya. Rumah itu kemudian menjadi tongkonan dari semua orang yang berada dalam garis keturunan suami-istri tersebut. Oleh karena itu, tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu, tetapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja.

Tradisi Manene
Tradisi Manene ini sampai saat ini masih terjaga dengan baik dan turun temurun ke masyarakat Baruppu, Pedalaman Toraja Utara. Ritual Manene sendiri termasuk kedalam upacara Rambu Solo’ atau yang sering disebut dengan upacara kematian. Tradisi Manene ini dilakukan oleh masyarakat setiap tiga tahun sekali dan dilakukan secara bersama atau serentak dengan warga desa lainnya.

Tradisi ini dilakukan karena prosesi Manene yang membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu dengan waktu satu minggu. Untuk pelaksanannya sendiri dilakukan setelah musim panen, karena jika dilakukan sebelum masa panen dianggap bisa membawa sial bagi hasil panen, seperti sawah dan ladang akan mengalami kerusakan.

Tradisi Manene ini diadakan pada Agustus, di mana masyarakat Tana Toraja akan mengeluarkan peti jenazah dari Patane. Patane ini merupakan kuburan berbentuk rumah tempat yang dijadikan untuk menyimpan jenazah, yang terletak di Lembang Paton, Sariale, Toraja Utara.

Tradisi Manene yang dilakukan ini diyakini bahwa para leluhur akan memberi keberkahan pada keluaraga atau kerabat yang masih hidup. Maka tak heran jika dalam tradisi ini banyak wisatawan domestik ataupun manacanegara yang hadir, karena mereka ingin menyaksikan langsung tradisi yang unik ini.

Tradisi Rambu Solo’
Masyarakat Toraja juga memiliki tradisi unik, yaitu Ma’ Pasilaga Tedng atau Tedong Silaga. Tradisi ini merupakan kegiatan adu kerbau yang telah dilakukan sejak zaman nenek moyang Suku Toraja dan terus dilestarikan hingga kini.

Acara adu kerbau biasanya diselenggarakan bersamaan dengan upacara Rambu Solo. Tradisi ini sangat menarik sehingga banyak wisatawan berkunjung ke Toraja untuk menyaksikannya. Kerbau-kerbau yang akan diadu akan diberi nama yang unik.

Rambu Solo’ hanya dilakukan oleh kalangan bangsawan karena biayanya sangat mahal. Upacara pemakaman kaum bangsawan biasanya dihadiri oleh ratusan orang. Acara pun dapat berlangsung selama berhari-hari.

Upacara pemakaman tidak harus dilakukan segera setelah seseorang anggota keluarga meninggal dunia, namun bisa dilakukan setelah berminggu-minggu, bahkan hingga bertahun-tahun setelah kematian yang bersangkutan. Hal ini dimaksudkan agar biaya upacara adat pemakaman terkumpul, mengingat upacara ini membutuhkan biaya yang besar.(*)