Bahaya, Data 279 Juta Penduduk Indonesia diduga Bocor

Ilustrasi Hacker

Data 279 juta penduduk Indonesia diduga bocor dan sangat rentan dimanfaatkan untuk tindak kejahatan.

Hal tersebut diungkapkan Chairman CISReC Pratama Persadha, yang menilai data menjadi incaran banyak orang dan sangat berbahaya jika benar data ini bocor.

Pratama mengakui telah memeriksa langsung sebagian data dari 279 juta data penduduk yang dijual di forum peretas Raid Forums. Dia berkata data yang disajikan oleh akun bernama Kotz cukup lengkap, seperti ada nama, tempat tanggal lahir, alamat, jumlah tanggungan. Bahkan ada nomor ponsel, NIK KTP, dan NPWP.

“Kita tunggu saja apakah benar ini data bocor dari dukcapil atau dari sumber lain. Kita juga akan tunggu klarifikasi dari Kemendagri terkait ini,” ujarnya dikutip dari CNNIndonesia, Kamis (20/5).

Adapun jenis kejahatan yang bisa dilakukan dengan menggunakan data itu, Pratama menyebut adalah kejahatan perbankan. Selain itu, data itu juga bisa digunakan pelaku kejahatan untuk membuat KTP palsu dan kemudian menjebol rekening korban.

Bahkan tidak menutup kemungkinan data itu tidak valid. Pasalnya, pemilik data itu mengklaim datanya bersumber dari BPJS.

“Harusnya jumlah data user BPJS tidak sebanyak itu. Artinya bisa klaim pelaku berlebihan atau bohong, bila benar data BPJS,” ujar Pratama.

Selain itu, Pratama menyampaikan edukasi digital tidak hanya ditujukan untuk masyarakat. Dia mengingatkan pemerintah dan swasta juga harus menerima edukasi digital mengingat kejahatan siber berkembang sangat cepat.

“Semua elemen, baik itu masyarakat sampai pejabat, entah itu swasta atau institusi pemerintah tetap harus selalu update mengenai edukasi digital karena perkembangan kejahatan siber sangat cepat,” ujar Pratama.

Dia melihat tidak ada edukasi sejak awal dari negara. Sehingga, pemahaman yang didapat adalah seputar pasal-pasal dari KUHP, UU Pornografi dan UU ITE.

“Jadi hanya pendekatan top down dan pendekatan law enforcement,” ujarnya.

Sedangkan pendekatan bottom up dan kultural lewat pendidikan edukasi, dia melihat hampir tidak ada. Di kurikulum pendidikan misalnya, tidak ada yang mengajarkan bagaimana berinternet yang sehat, aman, dan produktif.

Yang ada, kata dia hanya norma budaya dan agama yang sebenarnya tidak cukup. Apalagi para orang tua, pejabat pemerintahan, tokoh masyarakat dan tokoh agama, lanjut dia bukan native digital, tidak mengenal lebih dalam dunia digital.(*)