Adab mengenakan Sarung dalam Islam

Sarung dianggap sudah familiar dikalangan masyarakat Indonesia. Selain untuk melaksanakan sholat ternyata sarung juga cocok digunakan saat bersantai ataupun dapat dijadikan selimut ketika kedinginan.

Dalam sejarahnya, sarung pertama kali masuk ke Indonesia pada abad ke 14, dibawa oleh para saudagar Arab dan Gujarat. Dalam perkembangan berikutnya, sarung di Indonesia identik dengan kebudayaan Islam.

Sarung biasa digunakan untuk sholat, sering kita jumpai dibanding menggunakan celana panjang untuk menutup aurat.

Dalam kitab-kitab hadits telah banyak dikemukakan tata cara dan sopan santun berpakaian termasuk mengenakan sarung. Namun, terdapat larangan mengulurkan pakaian hingga menututupi mata kaki.

Malik dan Abu Dawud meriwayatkan bahwa “sarung” seorang Mukmin hendaknya sampai ke pertengahan lutut. Bahwa tidak berdosa bagi yang bersarung, sehingga menutupi antara betis dan mata kakinya, sedangkan yang menutupi di bawah itu maka di akan masuk neraka.

Dalam riwayat lain oleh at-Tirmidzi dan an-Nasa’i yang menyatakan bahwa sahabat Nabi, Hudzaifah, menceritakan bahwa Nabi memegang betisnya dan bersabda:

“Inilah tempat (batas akhir sarung). Kalau Anda enggan dan mau mengulurnya lagi, maka sedikit di bawah lagi. Dan kalau masih enggan maka tidak hak bagi (jangan sampai) itu menutupi mata kaki.”

Sementara dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan an-Nasa’i yang menyatakan, sahabat Nabi, Ibnu Umar berkata, Nabi Saw bersabda yang artinya:

“Siapa yang mengulur pakaiannya karena keangkuhan, Allah tidak akan memandangnya (dengan pandangan kasih sayang) di hari kemudian.”

Abu Bakar ra. Yang mendengarkan sabda ini lalu berkomentar, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya pakaianku selalu terulur ke bawah, kecuali kalau aku memperhatikannya.” Nabi menjawab, “Engkau bukan orang yang melakukan itu karena keangkuhan.”

Para ulama bersepakat bahwa ancaman itu hanya ditujukan kepada mereka yang mengulur pakaiannya karena keangkuhan.(*)