OPINI – Setiap pagi, jalan-jalan kecil di permukiman Makassar menyajikan pemandangan yang sama: tumpukan sampah rumah tangga menunggu diangkut.
Bagi sebagian orang, ini hanyalah rutinitas biasa. Namun jika kita jujur, sampah adalah wajah nyata dari bagaimana sebuah kota mengelola dirinya.
Kota yang gagal mengelola sampah akan segera menanggung dampaknya—drainase tersumbat, banjir musiman, bau tak sedap, hingga menurunnya kualitas hidup.
Pertanyaannya, apakah kita masih akan membiarkan Makassar terjebak dalam lingkaran masalah yang sama? Atau justru berani memulai perubahan dari unit terkecil: RT dan RW?
Model pengelolaan sampah berbasis masyarakat tingkat RT/RW menawarkan jalan keluar yang realistis sekaligus revolusioner. Sampah muncul di rumah, lorong, dan jalan lingkungan, bukan di kantor walikota.
Dengan menjadikan warga sebagai aktor utama, pengelolaan sampah tidak lagi sekadar urusan teknis pemerintah, tetapi bagian dari budaya sehari-hari. Warga dapat mengatur iuran pengelolaan lingkungan, membentuk tim pengumpul, hingga mengelola Tempat Pengolahan Sampah (TPS) kecil di tingkat RT/RW.
Dari titik inilah konsep ekonomi sirkular bisa hidup: sampah dipilah, dijual, diolah menjadi produk daur ulang, bahkan dimanfaatkan melalui budidaya maggot.
Namun, gagasan pembentukan lembaga pengelola di tingkat RT/RW sebenarnya memiliki cakupan yang lebih luas. Lembaga ini tidak hanya menyasar pengelolaan sampah, tetapi juga kebersihan lorong, penataan lanskap lingkungan, hingga aspek keamanan permukiman.
Dengan pendekatan ini, iuran pengelolaan lingkungan bukan hanya menjadi sumber dana untuk mengangkut sampah, melainkan juga menopang kegiatan rutin pembersihan, penghijauan, pemeliharaan taman kecil, bahkan terkait keamanan lingkungan. Artinya, warga bersama-sama membangun lingkungan yang sehat, asri, dan aman melalui satu wadah manajemen yang terstruktur.
Konsep gotong royong yang selama ini menjadi identitas sosial masyarakat Indonesia dapat diperbarui dalam bentuk manajemen modern.
Bukan sekadar kerja sukarela, melainkan sistem yang rapi dengan pembagian peran yang jelas. Iuran dikelola secara transparan, lembaga pengelola memiliki legitimasi dari kelurahan atau kecamatan, dan mekanisme evaluasi dilakukan secara berkala. Dengan model ini, masyarakat tidak hanya menjadi penghasil sampah, tetapi juga menjadi pengendali kebersihan, pemelihara lanskap, serta penjaga keamanan lingkungannya sendiri.
Tentu saja, kemandirian tidak berarti berdiri sendiri. Ada stakeholder yang perannya vital sebagai penopang. Pemerintah hadir sebagai pemberi dukungan regulasi, fasilitator supervisi, sekaligus penyedia insentif atau reward bagi RT/RW yang berhasil mengelola lingkungan dengan baik.
Media bertindak sebagai corong informasi dan transfer pengetahuan, membantu menyebarkan praktik baik, memberi edukasi publik, serta mengangkat kisah sukses komunitas.
Dengan begitu, inovasi pengelolaan lingkungan tidak hanya berhenti pada skala lokal, melainkan bisa menjadi inspirasi kota lain. Sementara pihak swasta dapat mengambil bagian melalui program Corporate Social Responsibility (CSR), misalnya dengan mendukung peralatan pengolahan, memberikan bibit tanaman untuk penghijauan, atau membantu sistem keamanan berbasis teknologi.
Manfaat dari model ini berlapis. Tidak hanya tumpukan sampah yang berkurang, tetapi juga tercipta lingkungan yang lebih bersih, hijau, dan aman. Partisipasi warga meningkat karena mereka terlibat langsung dalam menjaga kebersihan, merawat lanskap, dan ikut mengawasi keamanan.
Lapangan kerja baru muncul, baik dari pengumpulan dan pemilahan sampah, pemeliharaan taman, hingga kegiatan jasa keamanan lingkungan. Ekonomi lokal bergerak karena hasil penjualan sampah terpilah atau produk daur ulang menambah pendapatan, sementara kualitas hidup membaik karena lingkungan lebih tertata.
Kota besar sering kali mengandalkan pendekatan top-down dalam pengelolaan sampah maupun kebersihan, namun pengalaman menunjukkan bahwa strategi ini kerap terbatas pada pengangkutan semata.
Padahal, inti permasalahan terletak pada pemeliharaan lingkungan yang konsisten dan partisipatif. Dengan memulai dari lorong, RT, dan RW, Makassar justru memberi contoh bahwa perubahan kota lahir dari akar rumput. Inilah bentuk nyata dari pembangunan partisipatif—bahwa warga bukan objek, melainkan subjek perubahan.
Makassar punya kesempatan emas untuk menjadi pelopor kota besar dengan sistem pengelolaan lingkungan berbasis komunitas. Dengan dukungan pemerintah, media, dan swasta, serta semangat gotong royong masyarakat, strategi ini tidak hanya menjawab masalah sampah, tetapi juga menghidupkan kebersihan, memperindah lanskap, meningkatkan keamanan, sekaligus membangkitkan ekonomi lokal.
Mengubah kota memang tidak bisa sekaligus, tapi ia bisa dimulai dari lorong-lorong kecil, dari RT dan RW. Dan ketika setiap sudut kota bergerak, wajah Makassar akan berubah: dari kota yang dibayangi masalah lingkungan menjadi kota yang berdaya dan berkelanjutan.
Penulis
Ir. Junardin Djamaluddin, SP., M.Si., IALI.
– Ketua Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI) Sulawesi Selatan
– Mahasiswa Progran Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Hasanuddin
– Pembina Racana Putra Putri Hasanuddin
– Gerakan Pramuka Universitas Hasanuddin