Tiar, Jukir Pasar Sentral Parimo yang Menyimpan Luka Bencana dan Mengejar Asa Jadi Pedagang

BERANDANEWS – Parimo, Sebagai buruh Juru Parkir (Jukir) merupakan jalan keluar bagi Baktiar Nurdin Daeng Tobo atas keterbatasan pendidikan formalnya, namun tidak sedikit Tiar menunjukkan semangat juangnya, ketulusannya, dan bahkan mengukir nama baik bagi pengunjung Pasar dari profesi yang disandangnya meskipun sering dipandang sebelah mata, Parigi Moutong, Kamis (25/09/2025).

Baktiar Nurdin Daeng Tobo, berdarah campuran Makassar Toraja, ia lebih akrab disapa Tiar.

Tiar lahir di Kota Palu 43 tahun silam. Ia lahir dari pasangan Nurdin Daeng Tobo berdarah Makassar, dan seorang ibu yang bernama Tini berdarah Toraja.

Tiar bersaudara sebanyak 14 orang. Dan kedua orangnya meninggal akibat Gempa, Tsunami dan Likuifaksi yang melanda Kota Palu 28 September 2018 silam.

Pasca itu, Tiar ikut kakaknya di Kabupaten Parigi Moutong untuk keberlangsungan hidup. Tiar bersama kakaknya sebagai buruh bangunan, hingga Tiar beralih ke Juru Parkir di Pasar Sentral Parigi Moutong (Parimo).

Sejak itu, Tiar hanya tinggal di pelataran Pasar, tanpa dinding. Ia hanya beralaskan potongan gardus sebagai tempat tidur, Tiar mengandalkan fasilitas Pasar seperti WC umum.

Dalam kesehariannya sebagai Jukir, Tiar hanya mendapat upah kisaran Rp20 ribu hingga Rp40 ribu per harinya.

Melakoni kesehariannya sebagai Jukir Tiar pun hanya mengikut dengan Petugas Parkir yang ia panggil Opa. Setiap harinya Tiar wajib menyetor hasil parkiran yang ia dapatkan ke Opa yang ia anggap atasan.

“Disini saya hanya ikut sama Opu pak. Jadi setiap hari kami setoran ke beliau,” kata Tiar sembari menunjuk Opa.

Bagi Tiar kehidupan yang ia jalani cukup berat. Sesekali matanya berkaca-kaca saat ia mengisahkan perjalanan hidupnya. Tiar berharap agar pemerintah bisa membantu dirinya mendapat tempat tinggal dan pekerjaan tetap.

Tiar selalu berharap kelak dirinya memiliki usaha sendiri. Ia ingin berdagang.

“Saya ingin berdagang di Pasar ini pak,” ucapnya dengan nada pelan. (*)